Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi
Tampilkan postingan dengan label ayah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ayah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga

Braga, Desember 2006
Festival Braga
Sepanjang jalan Braga dipenuhi ornamen bambu. Ada ayunan besar serupa balai- balai. Ada semacam wuwu* super besar, hingga anak anak dapat masuk ke dalamnya. Anyaman bambu berbentuk naga berdiri melintang di tengah jalan. Aneka jajanan kampung tersedia di stand stand yang ada. Ada juga pameran sepeda tua dari Perkumpulan Sepeda Baheula.

Tapi aku ke sini bukan hendak bersenang senang. Aku ingin melihat Braga. Meski hanya di siang hari. Sudah tiga hari ini Mas Bejo tidak pulang ke rumah. Anehnya, setiap aku telepon ke kantor, katanya dia sedang tugas ke luar. Sekali waktu ke cabang Surapati. Sekali waktu mengantar surat ke kantor pos. Berarti dia masuk kantor. Kemana gerangan dia di malam hari. Dari desas desus ibu ibu Dharma Wanita kudengar suamiku tergila gila dengan kehidupan malam di jalan Braga.

Memang kuakui dia sering pulang malam. Kadang bahkan di pagi buta. Bukan, dia bukan main perempuan. Aku tahu itu. Mas Bejo laki laki miskin, tak akan ada perempuan malam yang akan meliriknya. Kalaupun melirik, mungkin lirikan itu hanyalah berarti belas kasihan.
Aku tahu dia terkungkung di meja judi. Kegemaran kanak kanak yang terbawa sampai dewasa. Awalnya dulu sering bermain kipyik yang ada di keramaian pertunjukan wayang kulit. Di ujung kampung manapun, pasti dia datangi. Memang bukan judi besar besaran. Ini hanya permainan koin dan dadu. Tapi itu sungguh seperti candu baginya. Setiap kuingatkan, dia hanya diam dan masuk kamar.

Mas Bejo selalu memberi uang gajinya dengan jumlah yang tetap padaku. Mas Bejo tidak pernah marah marah di rumah. Tidak pernah berlaku kasar terhadap anak anak. Aku tidak punya alasan untuk menuntut lebih keras. Hanya doa yang selalu kupanjatkan, semoga Allah memberinya kesadaran, suatu saat. Entah kapan.

Sering kudapati di larut malam, dia pulang dengan mata sembab karena menahan kantuk. Sedang esok harus pergi pagi pagi ke kantor. Kadang juga pulang subuh, si Sulung pergi ke masjid, ayahnya baru pulang dari meja judi.

Aneh. Meskipun aku hanyalah tamatan SMP dan tinggal di rumah, tapi hati kecilku bertanya. Apakah tidak ada peraturan yang melarang pegawai  berbuat seperti itu. Apakah  atasannya tidak tahu. Atau pura pura tidak tahu ? Atau tidak peduli ? Siapalah yang peduli dengan pegawai golongan rendah seperti dia. Tak menghasilkan setoran atau upeti. Yang penting hadir tiap hari untuk disuruh ke sana ke mari. Tapi aku bisa apa ? Aku hanyalah seorang istri yang hanya tinggal di rumah.


Asia Afrika, Maret 2007
"Ibu Bejo, mohon maaf Ibu saya undang ke sini. Mohon dimaklumi, saya tidak dapat bersilaturrahim ke rumah Ibu. " ujar perempuan cantik di hadapanku. Aku tengah menghadapnya. Ada meja besar di antara kami berdua. Mungkin dia atasan suamiku, karena duduknya sendiri di ruangan sebesar ini.

"Iya Bu, tidak apa-apa. Rumah saya tidak pantas untuk di datangi. Lagi pula susah nanti mencarinya. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu ? Apakah suami saya berbuat kesalahan, atau mendapat hukuman ?" tanyaku

"Saya yakin ibu juga tahu kebiasaan suami Ibu. Saya hanya ingin menyampaikan, bahwa sekarang, saya di sini dan teman teman di sini, sedang berusaha untuk menyadarkan Pak Bejo. Agar kebiasaan itu sedikit demi sedikit dikurangi, dan akhirnya ditinggalkan. Karena terus terang saja, yang dilakukan Bapak sebenarnya sudah melanggar peraturan pegawai dan dapat mencemarkan nama baik kantor. Walaupun demikian, kami tidak ingin menyelesaikannya  dengan langsung menghukum, tapi kami berusaha menyadarkan"  perempuan cantik itu menjelaskan panjang lebar.
"Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kebaikan Ibu." ucapku penuh syukur. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang peduli pada suamiku.
"Sama - sama Bu. Hanya saja, untuk sementara ini, saya akan memindahkan Bapak agak jauh ke luar kota. Harapan kami, bila tidak berdekatan dengan jalan Braga, Bapak tidak akan tergoda untuk kembali ke sana."
Aku tertegun sejenak.
"Dipindah ke mana Bu ?" gagap aku bertanya. Belum pernah kami berpisah kota.
"Tempat persisnya belum tahu, Ibu siap siap saja"
"Baik Bu, apapun itu. Demi kebaikan Mas Bejo dan masa depan anak - anak, saya menerima dengan ridho apapun keputusan Ibu"

Braga, Bank Muamalat,  2012
"Pak Bejo dan Ibu, alhamdulillah, tabungan Bapak dan Ibu sudah mencukupi. Insya Allah, tahun ini Bapak dan Ibu dapat berangkat ke tanah suci."
Aku memandang suamiku. Dia membalas dan tersenyum. Tak kuasa aku menahan haru. Kugenggam erat tangan suamiku.
Alhamdulillah  ya Allah, telah Engkau berikan kesadaran kepadanya. Tidak sia sia lima tahun pisah kota.
"Terima kasih, Mbak" Jawabku tanpa bisa berkata lebih panjang.












Selasa, 12 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau

Perempatan jalan Sukarno Hatta suatu siang.
Jam Gadang nampak gagah di ujung sana. Bukit Singgalang yang berpayung awan, menjadi latar yang sempurna.
Cuaca cerah, bahkan cukup panas menurutku.  Sejuknya udara kota ini tak sanggup mendinginkan kepalaku yang sangat panas.
Tiba tiba saja lampu lalu lintas menyala merah, seolah marah. Tak rela aku melintas begitu saja di dekatnya dengan kecepatan 80 km/jam.
Aku tak peduli. Siapa juga yang peduli. Kepalaku panas. Panas sekali.
120 detik. Terlalu lama. Sangat lama untuk membaca pesan pendek yang datang bertubi tubi sepagian ini.
"Kak, adik dapat surat dari sekolah, katanya SPP harus lunas sebelum penerimaan rapot" dari  Clara adikku.
Sejak papa meninggal akhir tahun lalu, biaya sekolah Clara aku yang menanggung. Dan, ah,  aku belum membayarnya sepeserpun di semester dua ini.
"Assalamu'alaikum Pak Abdul. Maaf,  Ini Siti . Bapak barusan di cari pak Budi dari bagian keuangan. Katanya Bapak ada janji dengan beliau" dari Siti, anak magang di ruanganku. Oh. syukurlah pak Budi sopan sekali. Tidak membeberkan tunggakan utangku yang memasuki bulan kedua.
"Pelanggan Yth, mohon diselesaikan tagihan kartu kredit Anda agar tidak masuk black list Bank Indonesia. Abaikan pesan ini bila Anda telah melakukan pembayaran"
Sama saja. Basa basi menagih utang.
"Papa cepat pulang, dede bayi sepertinya  sudah mau melihat dunia luar. Yayang sudah tidak kuat menahan sakit" ini pesan pendek istriku inilah  yang membuatku kebut kebutan di siang bolong ini.
Terik matahari kian memanggang kepala. Masih 30 detik lagi. Terlalu lama. Ingin rasanya kuinjak pedal gigi dan kutarik gas.


siuuuuuuuuuuuutttt ................... brak.  Suara sirine mobil polisi dan ambulan bersahut sahutan.

Harian Singgalang, esok harinya
"Seorang Pengendara Sepeda Motor Tewas Menabrak Truk"

Senin, 18 Oktober 2010

Ayah, Tolong Jelaskan !

Seusai pengambilan raport ujian tengah semester, seorang ayah terpaku menatap nilai-nilai yang tertera di raport anak anaknya.
si sulung, dua nilai tidak lulus standar kompetensi minimal
si tengah, ada 3 mata pelajaran yang salah satu nilai hariannya merah, dan belum ikut remidial.
ditambah 5 tugas harian yang belum dikumpulkan
si bungsu, ada dua mata pelajaran yang nilainya dua dan empat.
Si Ayah tertegun, malu, marah, kesal, merasa gagal

Setiba di rumah, dipanggilah ke tiga anak kesayangannya, kebanggaannya.
Dengan menahan geram, diletakkannya raport itu di depan anaknya masing masing.
Dipandanginya sang anak satu per satu.
Sang anak hanya menunduk, tak berani menatap wajah ayahnya.

"Tolong jelaskan pada Ayah, kenapa nilai kalian seperti ini. Tidak pernah kalian mendapatkan nilai seperti ini.Kenapa?"

Anak-anak semakin dalam menunduk.

"Kalian diberi kepercayaan, diijinkan bermain game, diberi waktu menonton televisi, di beri waktu online, diberi waktu membaca novel, dalam pikiran Ayah, kalian sudah selesai mengerjakan tugas tugas kalian di sekolah"
Si Tengah paling menunduk, karena hanya dia yang mendapat daftar tugas belum dikerjakan.

"Ayah, tidak mau ini terjadi lagi !"

Sang anak memberontak dalam hatinya, banyak hal yang ingin dikatakan, tapi tak satupun terucapkan.

("Coba, tolong jelaskan pada kami, kemana ayah ketika kami ingin bertanya. Pernahkah ayah menemani kami belajar, pernahkah ayah membantu kami memecahkan soal, pernahkah ayah bertanya apakah kami ada kesulitan, pernahkah ... pernahkah...?")

Andai ayahnya mendengar apa yang mereka pendam.