Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Senin, 23 April 2012

Dua Perempuan Satu Perasaan

"Mamah mengerti perasaanmu, Neng" Suara Mamah bergetar pelan.
"Tapi Mah, Aa nggak pernah berterima kasih sama Neng. Apapun usaha yang Neng lakukan sepertinya tak berarti sedikitpun di mata Aa. Neng sudah  berusaha melakukan semua yang Aa suka. Neng belajar memasak makanan kesukaan Aa. Aa mencicipi pun tidak. 
Neng juga berusaha bercanda canda dengan Aa, selalu menampakkan senyum dan wajah cerah Neng. Meski dalam hati Neng sedang sedih atau kecewa. Ternyata itupun belum membahagiakan Aa. Neng merasa tak berarti, Mah. Neng putus asa, Mah. Neng merasa sudah tidak kuat lagi melayani Aa Mah.." kataku sambil  sesenggukan

"Bersabarlah Neng. Batu pun kalau kena tetesan air, akhirnya akan berlubang. Kalau kau sabar menghadapi perangainya yang seperti itu, Mamah yakin dia akan berubah nanti. Ikhlaskan semua karena Gusti nu Agung. Berdoalah selalu agar Neng dilimpahi kesabaran. Jangan lupa bersyukur, Aa teh orangnya bertanggung jawab pada keluarga, nggak macem macem diluar sana." Mamah mengusap usap punggungku.
"Neng  nggak bisa seperti Mamah, yang diam dan pasrah akan perlakuan Papah" kataku sambil menatap mata Mamah.

Mamah terdiam sejenak. Matanya menerawang.

"Mamah dulu selalu berdoa, mohon pada Yang Kuasa, agar Mamah diambil dulu, mendahului Papah. Biar Papah merasakan, bahwa tidak adanya Mamah, akan membuat dia merasa kehilangan. Tidak ada yang melayani, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak ada yang mendengarkan, bahkan omelan omelan Papah. Tapi ternyata Gusti nu Agung  berkehendak lain. Papah diambil duluan. Dan Mamah pun kini merasa kehilangan. Ternyata banyak sekali  sisi baik Papah yang Mamah nggak lihat. Mamah hanya menuntut dan menuntut. Sehingga melupakan yang ada." Kali ini Mamah yang berurai air mata.

*242 kata