Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Senin, 18 Juni 2012

Biru, Jatuh Hati


Ombak laut selatan silih berganti menerpa batu di bawah kakiku. Menderu didorong angin dan akhirnya pecah. Kutatap langit yang berujung di garis cakrawala. Pulau Nusakambangan nun jauh di sisi kiri. Samar samar tertutup entah kabut entah awan.

Inilah tempat favoritku. Diujung dataran yang menjorok ke laut. Di atas tebing batu. Di bawah pepohonan. Sempurna. Tak seorangpun lalu lalang di  sekitarku. Tak kan seorang pun membuyarkan lamunanku.
Setiap aku rindu, pasti aku akan kembali ke sini.

"Rindu ? Rindu aku ? Mas ngaco. Kayak nggak pernah ketemu aja. Baru lima menit lalu aku mention Mas. !"  tawaku lepas kala itu.
Kemudian aku berlari menerjang ombak. Engkau pun berlari mengejar. Dan kita tertawa.

"Mas tau nggak ? Aku tuh udah menganggap Mas seperti kakakku sendiri. Aku bisa tertawa lepas, bisa curhat dengan bebas dan nyaman, karena Mas selalu ngertiin aku. Kalaupun aku sayang Mas, itu bukanlah rasa sayang antara perempuan terhadap laki laki. Catat ya, bukan sayangnya seorang perempuan terhadap seorang laki laki. Tetapi, rasa sayang itu lebih mendekati sayangnya seorang adik terhadap kakak. Apalagi aku memang nggak punya kakak. Jadi please deh, jangan rusak pertemanan kita ini  dengan kata kata cinta dan sejenisnya" Aku serius.

"Mas juga begitu, pada mulanya. Tapi setelah bertahun tahun kita lalui bersama, mulai dulu kita main layang layang di lapangan bola, kemudian sama sama ikut karate di polres, kemudian kita pisah kota karena aku kuliah di Yogya dan kamu di Bandung, aku mulai merasakan ada yang berbeda. Entah kenapa, setiap aku mencoba mendekati teman perempuan untuk jadi kekasih, selalu kubandingkan dengan dirimu, dek"

Aku mendengus.
"Eits, stop ! Jangan mendramatisir. Tak ada manusia yang sempurna. Dan tak ada perempuan yang mau dibanding-bandingkan. Semua pasti punya kelebihan. Kali aja Mas belum serius mendekatinya. Percayalah, Mas hanya butuh waktu lebih banyak bersamanya."

"Sayangnya, mungkin tidak demikian. Setiap perempuan yang sudah jalan dengan Mas, pasti mereka akan cemburu padamu. Walaupun belum satupun yang pernah bertemu kamu.  Setelah mereka melihat, segitu banyak foto foto kita di kamar kosku. Segitu banyak komen komen kamu di wall facebook-ku. Dan segitu sering kita saling tweet dan mention, siapapun bakal mengambil kesimpulan ada suatu hubungan antara kita."

"Aaaah.. itu sih, karena Mas nggak sungguh sungguh meyakinkan dia. Coba deh. Suatu saat nanti, pasti Mas bakalan ketemu dengan seseorang yang bisa ngertiin Mas apa adanya" sahutku ringan.

Kami pun melanjutkan bercengkerama di pantai ini. Duduk berlama lama memandang pantai. Membiarkan kaki dan pakaian kami basah disapu ombak.

Tapi itu udah dulu sekali. Ah tidak, baru setahun eh dua tahun. Lama juga ya.. Seperti apa mas Bagas tampak aslinya ?  Dan itulah pertemuan terakhirku dengan Mas Bagas. Kami masih saling mention dan saling komen. Tapi tidak pernah lagi bertemu. Mas Bagas seperti menghindariku. Apa seperti ini ya, yang namanya rindu.

Dan kini, selembar undangan ada di tanganku.

Undangan, 18 Juni 2012

Bagas Asmarandana
dengan 
Ratih Kusumastuti


Akhirnya Mas Bagas menemukan orang yang dapat mengerti dia seutuhnya. Mestinya aku hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagasku menikah dengan orang yang dicintai dan mencintainya. Tetapi, kenapa setelah dua tahun tidak bertemu ? Kenapa dia tidak datang dulu padaku ? Mengenalkan mbak Ratih padaku ? Kenapa ada rasa asing dalam hatiku. Seperti rasa sakit, rasa kecewa atau apalah. Yang jelas aku tidak nyaman menghadapinya.

Ah, siapa kamu. Sehingga kamu punya ukuran mestinya mestinya dan  kenapa kenapa tentang Mas Bagas. Sisi batinku yang lain mencoba menganulir cara berpikirku.

Tidak ternyata aku tidak cukup kuat untuk hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagas dan mempelainya berbahagia di pelaminan. Maka aku memilih di sini. Di bibir pantai Pangandaran. Sendirian. Kutelungkupkan kepalaku ke atas lutut. Kubiarkan angin laut memainkan rambutku. Entah sampai berapa lama. Mungkin aku tertidur di sini.

"Dor !" Tiba tiba sebuah suara mengejutkanku. Hanya satu orang yang tahu tempat favoritku ini.
"Mas Bagas ? Bukannya....." Aku buru buru mengusap bekas air mata di pipiku.
"Hehehe... Maafkan Biru. Aku ngerjain kamu. Tidak ada pernikahan itu. Itu undangan main main yang kubuat sendiri. Sekarang aku bisnis percetakan. Aku hanya ingin menjajagi perasaanmu. Aku mau melihat apa reaksimu. Daaan......" kata Mas Bagas sambil  membuka tangannya dan tersenyum jenaka.
"Mas Bagas jahaaaaaaaaaaaaaattt " aku berteriak dan lari ke pelukannya. Kupukul-pukul dadanya yang bidang.
Mas Bagas memelukku erat. Air mataku deras mengalir membasahi T-shirtnya.

"Biru, aku nggak akan memanggilmu "dek" lagi. Karena kamu bukan adikku" Mas Bagas berbisik di telingaku. Jarinya menjentik hidungku.
Aku masih menahan isak. Aku mengangguk dan makin menenggelamkan kepalaku ke dalam peluknya. Mas Bagas memang bukan kakakku. Dan aku telah jatuh hati padanya.









Sehangat Serabi Solo

Pasar Klewer, Solo

Untuk mendapatkan serabi solo kalian tidak harus ke Solo.
Karena sekarang sudah banyak yang menjual serabi solo ke luar kota Solo.
Tidak juga harus mendatangiku di depan pasar Klewer ini, di Kedai Serabi Solo "Putri Solo"
Tapi, akan berbeda kalau kau mendapatkannya di tempat asal. Serabi Solo yang dibeli di kota Solo.

Sudah hampir sepuluh tahun aku dan suamiku membuka kedai serabi solo.
Alhamdulillah selalu laris manis. Apalagi di musim liburan seperti sekarang.
Kutatap suamiku yang sedang mengaduk aduk arang agar bara apinya rata.
Setiap gerakan tangannya bagai mengaduk aduk perasaanku yang entahlah, aku tak tahu apa ini namanya.

"Kenapa menatap Aa seperti itu, Neng  ?" Pertanyaaan Aa mengagetkanku.
"Aa makin kasep kalau lagi kerja dan bersimbah peluh, jadi Neng makin suka ngeliatin Aa"
"Ah, Neng merayu. Pasti ada maunya nih..."
"Enggak lah A.... kan emang Neng sayang dan cinta sama Aa"
"Ish, sudah, nih, anterin serabi ke pembeli di meja 10 tuh. Ngeliatin kita dari tadi." Kata Aa sambil menyorongkan sepiring serabi pesanan.

Jangan heran aku memanggil di Aa. Memang Aa berasal dari Bandung. Aku yang asli Solo. Tapi jangan salah, dalam hal mengolah serabi, Aa lebih jago dari aku. Selain  karena dia kuliah di bidang kuliner dia  juga belajar langsung dari Bapak.

Aku duduk diam di sudut kedai. Kebetulan pembeli sudah mulai sepi.
Sehabis mencuci tangannya yang tercoreng arang dan terciprat abu di sana sini, Aa duduk di depanku.
Dia menarik kursi di seberang mejaku.  Dipegangnya tanganku.
"Neng masih memikirkan soal reuni Aa ?"
Aku menunduk sambil membetulkan letak kerudungku.
"Nanti siapa yang membantu Neng di kedai kita selama Aa di Bandung ?" tanyaku berdalih
"Kan ada de Joko yang sudah menyanggupi. Aa yakin bukan karena itu. Neng khawatir Aa bakal CLBK ?"
Aku makin menunduk. Selama ini aku selalu mengikuti saja keputusan Aa. Aku selalu menerima apa pun yang dia katakan atau apapun yang dia lakukan.
Tapi, untuk yang satu ini rasanya agak sedikit berat.
Aku tahu siapa dan bagaimana teman teman kuliah Aa di tempat itu.
Aku juga tahu pergaulan macam apa diantara mereka. Dan aku tak mau, masa lalu kembali menarik Aa.
Aku menarik nafas.  Kutatap mata Aa. Barangkali aku bisa melongok sedikit ke dalam hatinya. Apakah masih hanya diriku seorang dan tak ada lainnya.
"Yakinlah Neng, Aa akan menjaga diri selama di Bandung"
Hatiku memberontak. Menjaga diri bagaimana. Aku tahu Aa yang tidak pernah mau berkonflik. Sekecil apapun.
Misalnya saja,  dia masih susah untuk menjaga diri tidak salaman dengan perempuan. Alasannya? Alasan ringan, menurutku. Malah dia selalu membalikkan pernyataan, "kamu enak, pake kerudung. Bisa menolak salaman." Huh !
Justru itulah, karena Aa nggak pake kerudung, dan teman temannya pasti banyak yang belum tahu Aa sudah berubah, aku nggak rela rasanya nanti tangan Aa ditarik tarik ke panggung diajak berjoged. Dipeluk peluk dan cipika cipiki. Memangnya aku nggak tahu apa ! Pertemanan seperti apa yang dulu dijalani Aa, toh kami berasal dari kampus yang sama. Hanya beda angkatan dan jurusan.
"Bicaralah, Neng. Kalau Neng nggak ridho Aa ikut reuni, Aa nggak akan berangkat"
"Kata - kata Aa seakan akan menimpakan segala resiko reuni padaku." kataku dingin.
"Bukannya begitu... maksud Aa... " kata kata Aa menggantung di udara.

Bagaimanapun aku menenangkan hatiku, tetap saja aku tidak berhasil. Bagaimanapun aku berusaha berpikiran positif, selalu saja hal negatif yang muncul. Terlalu berat. Sangat berat rasanya melepas Aa.

"Terserah Aa aja lah.. Hanya satu permintaan Neng. Tolong deh Aa renungkan, seandainya kali ini angkatan Neng yang ngadain reuni, dan kemudian Neng ikut. Terus Neng diperlakukan teman teman laki laki Neng jaman kuliah dulu seperti yang teman teman perempuan Aa memperlakukan Aa dahulu, Aa bakal ridho nggak, Neng berangkat reuni. Kalau Aa ridho, Neng juga akan berusaha ridho"

Kataku sambil beranjak meninggalkan Aa di meja. Akhirnya kusampaikan juga segala yang mengganjal perasaanku. Berat sekali. Karena selama sepuluh tahun menikah, belum pernah sekalipun aku membantah Aa atau  tidak setuju dengan keputusan Aa.

Esoknya kutunggu de Joko datang dari rumah Bapak dan Ibu. Dia harus menjemputku untuk membawa bahan serabi ke kedai. Karena pagi ini Aa akan berangkat ke Bandung.
Aku duduk mematung di teras kontrakanku.

"Yuk kita berangkat Neng ..." Tiba tiba suamiku muncul dari dalam rumah.
"Aa nggak jadi ke Bandung ?"
"Setelah Aa pikir pikir, kayaknya Aa juga bakal nggak rela melepas Neng ke masa lalu.  Ketemu dengan teman teman laki laki Neng yang belum menjaga batas batas pergaulan. Lagipula Neng, Aa akan ketemu mereka paling cepat kan setahun sekali. Ngapain Aa memberati mereka, dan menjaga perasaan mereka agar tidak kecewa karena Aa nggak datang ? Toh akan banyak orang nantinya. Sedangkan di rumah ini, hanya ada Neng seorang. Nggak akan ada pengganti di hati Neng kalau Aa pergi.  Kita akan ketemu setiap hari. Kalau hari ini Aa melukai perasaan  Neng, Aa pasti malu ketemu Neng besok hari. Dan Aa nggak tahu bagaimana lagi Aa mengobati perasaan Neng."

Aku peluk suamiku erat erat. Ada yang menghangat di sudut - sudut mataku. Tidak, tidak akan kuhapus. Akan kubiarkan Aa tahu. 
"Itu keputusan Aa kan ? bukan keputusan Neng ya.." kataku merajuk
Aa mengangguk dan membalas pelukanku lebih erat.
Kehangatan menjalar di dadaku. Sehangat serabi solo dari kedai kami berdua.




Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga

Braga, Desember 2006
Festival Braga
Sepanjang jalan Braga dipenuhi ornamen bambu. Ada ayunan besar serupa balai- balai. Ada semacam wuwu* super besar, hingga anak anak dapat masuk ke dalamnya. Anyaman bambu berbentuk naga berdiri melintang di tengah jalan. Aneka jajanan kampung tersedia di stand stand yang ada. Ada juga pameran sepeda tua dari Perkumpulan Sepeda Baheula.

Tapi aku ke sini bukan hendak bersenang senang. Aku ingin melihat Braga. Meski hanya di siang hari. Sudah tiga hari ini Mas Bejo tidak pulang ke rumah. Anehnya, setiap aku telepon ke kantor, katanya dia sedang tugas ke luar. Sekali waktu ke cabang Surapati. Sekali waktu mengantar surat ke kantor pos. Berarti dia masuk kantor. Kemana gerangan dia di malam hari. Dari desas desus ibu ibu Dharma Wanita kudengar suamiku tergila gila dengan kehidupan malam di jalan Braga.

Memang kuakui dia sering pulang malam. Kadang bahkan di pagi buta. Bukan, dia bukan main perempuan. Aku tahu itu. Mas Bejo laki laki miskin, tak akan ada perempuan malam yang akan meliriknya. Kalaupun melirik, mungkin lirikan itu hanyalah berarti belas kasihan.
Aku tahu dia terkungkung di meja judi. Kegemaran kanak kanak yang terbawa sampai dewasa. Awalnya dulu sering bermain kipyik yang ada di keramaian pertunjukan wayang kulit. Di ujung kampung manapun, pasti dia datangi. Memang bukan judi besar besaran. Ini hanya permainan koin dan dadu. Tapi itu sungguh seperti candu baginya. Setiap kuingatkan, dia hanya diam dan masuk kamar.

Mas Bejo selalu memberi uang gajinya dengan jumlah yang tetap padaku. Mas Bejo tidak pernah marah marah di rumah. Tidak pernah berlaku kasar terhadap anak anak. Aku tidak punya alasan untuk menuntut lebih keras. Hanya doa yang selalu kupanjatkan, semoga Allah memberinya kesadaran, suatu saat. Entah kapan.

Sering kudapati di larut malam, dia pulang dengan mata sembab karena menahan kantuk. Sedang esok harus pergi pagi pagi ke kantor. Kadang juga pulang subuh, si Sulung pergi ke masjid, ayahnya baru pulang dari meja judi.

Aneh. Meskipun aku hanyalah tamatan SMP dan tinggal di rumah, tapi hati kecilku bertanya. Apakah tidak ada peraturan yang melarang pegawai  berbuat seperti itu. Apakah  atasannya tidak tahu. Atau pura pura tidak tahu ? Atau tidak peduli ? Siapalah yang peduli dengan pegawai golongan rendah seperti dia. Tak menghasilkan setoran atau upeti. Yang penting hadir tiap hari untuk disuruh ke sana ke mari. Tapi aku bisa apa ? Aku hanyalah seorang istri yang hanya tinggal di rumah.


Asia Afrika, Maret 2007
"Ibu Bejo, mohon maaf Ibu saya undang ke sini. Mohon dimaklumi, saya tidak dapat bersilaturrahim ke rumah Ibu. " ujar perempuan cantik di hadapanku. Aku tengah menghadapnya. Ada meja besar di antara kami berdua. Mungkin dia atasan suamiku, karena duduknya sendiri di ruangan sebesar ini.

"Iya Bu, tidak apa-apa. Rumah saya tidak pantas untuk di datangi. Lagi pula susah nanti mencarinya. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu ? Apakah suami saya berbuat kesalahan, atau mendapat hukuman ?" tanyaku

"Saya yakin ibu juga tahu kebiasaan suami Ibu. Saya hanya ingin menyampaikan, bahwa sekarang, saya di sini dan teman teman di sini, sedang berusaha untuk menyadarkan Pak Bejo. Agar kebiasaan itu sedikit demi sedikit dikurangi, dan akhirnya ditinggalkan. Karena terus terang saja, yang dilakukan Bapak sebenarnya sudah melanggar peraturan pegawai dan dapat mencemarkan nama baik kantor. Walaupun demikian, kami tidak ingin menyelesaikannya  dengan langsung menghukum, tapi kami berusaha menyadarkan"  perempuan cantik itu menjelaskan panjang lebar.
"Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kebaikan Ibu." ucapku penuh syukur. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang peduli pada suamiku.
"Sama - sama Bu. Hanya saja, untuk sementara ini, saya akan memindahkan Bapak agak jauh ke luar kota. Harapan kami, bila tidak berdekatan dengan jalan Braga, Bapak tidak akan tergoda untuk kembali ke sana."
Aku tertegun sejenak.
"Dipindah ke mana Bu ?" gagap aku bertanya. Belum pernah kami berpisah kota.
"Tempat persisnya belum tahu, Ibu siap siap saja"
"Baik Bu, apapun itu. Demi kebaikan Mas Bejo dan masa depan anak - anak, saya menerima dengan ridho apapun keputusan Ibu"

Braga, Bank Muamalat,  2012
"Pak Bejo dan Ibu, alhamdulillah, tabungan Bapak dan Ibu sudah mencukupi. Insya Allah, tahun ini Bapak dan Ibu dapat berangkat ke tanah suci."
Aku memandang suamiku. Dia membalas dan tersenyum. Tak kuasa aku menahan haru. Kugenggam erat tangan suamiku.
Alhamdulillah  ya Allah, telah Engkau berikan kesadaran kepadanya. Tidak sia sia lima tahun pisah kota.
"Terima kasih, Mbak" Jawabku tanpa bisa berkata lebih panjang.












Kerudung Merah

hotel tarabunga*

Perahu hotel menjemput kami dari daratan Balige.
Anak anak ramai berceloteh. Semua wajah terlihat cerah ceria.
Semua lulus dengan nilai memuaskan.
Meski aku yakin, ada satu dua atau tiga empat atau entah berapa mendapatkan dari contekan.
Aku tak mau tahu. Itu bukan urusanku dan bukan kewenanganku.

Beberapa duduk berpasangan. Kesempatan. Kapan lagi bisa bepergian seperti ini. Ini adalah malam perpisahan. Pantaslah bila tak ingin kehilangan, meski satu jenak pun kejadian.

Beberapa anak  perempuan duduk berhadapan. Di sudut lain para lelaki membuat gerombolan juga. Duduklah suka suka. Mumpung perahu ini hanya melayani kita.

Ada yang duduk sendiri menatap Toba. Menatap ikan pora pora yang berenang riang. Angin yang menghembus, membuat permukaan danau beriak. Airnya biru. Luas terhampar dipayungi langit yang biru juga. Bukit  Barisan dengan hutan pinusnya bak pagar keliling. Sempurna. Kuasa Tuhan menyatu di Toba. Sedetik aku tertegun, kagum. Terbersit syukur, tak harus pergi jauh untuk kudapatkan keindahan ini. Karena aku lahir di sini. Tumbuh besar di bumi ini.

Perahu merapat di dermaga hotel Tiara bunga. Semua mengemasi bawaannya masing masing lalu turun dari perahu. Tapi kami tidak akan menginap di hotel. Kami berjalan beriringan menyusuri jogging track menuju Villa Telukbunga. Di sanalah malam perpisahan kelasku akan diadakan.

"Wita, kamu melamun saja dari tadi"
Aku tersentak. Alex yang tiba tiba bertanya dan menjajari langkahku membuat lamunanku buyar.
"Ah enggak, biasa aja. Lagi males ngomong aja"
"Sini aku bawain tas kamu"
"Nggak usah, Alex. Aku bisa bawa sendiri kok. Terima kasih"
"Kamu udah baca suratku ?"
Aku mengangguk.
"Beri aku waktu untuk menjawabnya, Alex. Aku janji, besok pagi sebelum kita pulang ke Balige suratmu sudah aku jawab"
Alex menatapku tidak sabar.
Aku mengangkat pundak.
Akhirnya dia diam dan membuntutiku ke arah villa.

Vilanya sangat nyaman. Sirkulasi udara dan pencahayaan diatur sedemikian rupa, sehingga kami baru perlu menyalakan lampu setelah malam menjelang.
Tapi kami hanya menyalakan lampu luar.

Kami duduk melingkar di pantai yang berpasir. Satu persatu mengungkapkan  kesan dan pesan setelah tiga tahun bersama sama. Suka dan duka. Tangis dan tawa. Mereka yang punya cerita cinta pasti banyak kenangan. Orang bilang masa SMU adalah masa yang paling indah. Tapi tidak denganku. Hari hariku adalah belajar dan belajar. Berpindah dari sekolah ke perpustakaan. Semua membosankan sampai aku kelas tiga. Sebelum aku ketemu Kak Berlian. Dia cantik, baik dan tentu saja pintar. Dialah guru fisikaku di Nurul Fikri. Pertemuan kami tidak hanya di ruang bimbel. Kak Berlian lalu mengajakku ikut  Kajian Jumat di Masjid Hadhaanah dekat pasar Balige. Dan kamipun menjadi sahabat layaknya kakak adik.

Kak Berlian membuatku berubah dalam banyak hal. Membuka pikiranku yang selama ini tertutup dan hanya memikirkan diriku. Dialah yang menyadarkanku akan makna hidup. Dari mana aku berasal, untuk apa aku di dunia ini, dan akan kemana kelak setelah mati.
"Kak, kenapa kak Berlian pakai kerudung ? Kakak cantik, rambut kakak bagus dan panjang. Kulit kakak juga putih. Nggak ada yang bikin malu kan ?" tanyaku polos.
Saat itu kami tengah duduk duduk di pelataran TB Silalahi Center.
Kak Berlian mengeluarkan permen. Satu permen dia buka dan dia jatuhkan isinya ke tanah. Satu lagi tetap dia pegang. Kemudian diambilnya permen yang dijatuhkan. Sementara aku menanti jawaban.
"Wita, kalau kakak tawarkan satu dari dua permen ini padamu, kamu pilih yang mana ?"
"Pilih yang utuh, Kak. Kan yang satu sudah terbuka dan kotor"
"Begitulah Islam melindungi kaum muslimah dengan pakaian yang menutup aurat ini. Agar terjaga dari pandangan kotor laki laki nakal. Dan juga tidak menjadi fitnah bagi laki laki yang berusaha menjaga pandangannya"
Aku cuma melongo. Tapi batinku mengiyakan setuju.

"Dor ! kamu melamun lagi" Alex kembali mengagetkanku.
"Semua sudah masuk villa, kenapa kamu masih di sini, Wita ?" Alex duduk selonjoran di pasir pantai di sebelahku.
"Aku ingin memuaskan diri memandang Toba dan Samosir. Entah kapan aku bisa pulang lagi. Bandung - Balige tidak murah, Alex"
"Itulah, Wit. Karena aku nggak tahu kapan kamu pulang, makanya aku tak sabar menunggu jawabanmu"
"Alex, maafkan aku. Emm.. aku .. aku tak bisa menerima tawaranmu"
"Kenapa ? Apakah karena ada yang mendahuluiku ?"
"Tidak, bukan. Bukan karena siapapun."
"Kamu meragukanku ?"
"Tidak, Alex. Aku tidak pernah meragukan kesungguhanmu. Maafkan aku"
"Jadi kenapa ?"
"Karena aku belum siap untuk menjalin hubungan dan terikat dengan seseorang, aku nggak mau pacaran Alex. Aku punya cita-cita, dan aku akan mengejar cita-citaku terlebih dahulu. "
"Tanpa cinta ?"
"Tanpa cinta yang tidak direstui-Nya. Aku ingin kita tetap bersahabat saja. Seperti awalnya. Kau bisa jatuh cinta dan menikahi siapapun. Tak harus menungguku kembali. Iya kalau aku kembali." Aku tertawa getir, berharap suasana mencair.
"Baiklah Wita. Bila itu membahagiakanmu"
Aku mengangguk.
"Terima kasih Alex. Yuk kita kembali ke villa. Ntar di sangka temen temen kita ngapain lagi."

Alex menatapku sejenak di pintu. Aku pura pura tidak tahu dan langsung masuk kamarku.
Kucari cari tas punggungku diantara sekian tas milik teman teman yang sebagian sudah tidur. Kurogohkan tangan ke dalam. Aku ambil sebuah bingkisan yang telah lama aku terima.

Wita, bingkisan ini hanya boleh kamu buka setelah kamu lulus SMU
Sampai jumpa di ITB

Itu tulisan tangan kak Berlian. Sampai jumpa di ITB adalah semacam doa darinya. Dan pembangkit semangat. Kala itu aku sedang dalam proses bidik misi.
Kini aku sudah lulus. Kubuka bingkisan itu. Ternyata isinya adalah selembar kerudung merah.Aku akan memakainya besok dan seterusnya.

*foto diculik dari sini

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja

Sungai Musi & Jembatan Ampera, Palembang

Pernahkah kau mencinta dengan sangat ? Pernahkah kau merindu dengan sangat ? Jika jawabanmu iya, maka bersiaplah kau akan terluka dengan sangat. Kau akan terpuruk dengan sangat pula.

Cinta memang sesuatu yang membingungkan. Dia adalah sumber bahagia dan luka sekaligus, menurutku. Kalian boleh setuju boleh tidak. Karena idealnya cinta itu membahagiakan. Mengembangkan. Memberi kesempatan. Seperti cinta seorang Ibu yang memelihara anaknya sejak dalam kandungan hingga ia dewasa. Bahkan hingga anaknya mempunyai anak pula.

Tapi aku tak pernah menemui cinta yang seperti itu. Aku ragu. Apakah aku akan bertemu. Sejauh aku melangkah, tak ada sedikitpun tanda tanda.
Cinta telah membawaku melayang jauh. Melayang bukan dalam arti khayalan saja. Tetapi melayang yang sesungguhnya.

"Ikutlah Ning.. percayalah. Cinta kakak tidak akan tergoyahkan. Kakak akan yakinkan Ayah dan Ibu. Kalau beliau berdua melihatmu, pastilah mereka juga jatuh cinta padamu"

Cintalah yang membawaku terbang dari tanah Jawa ke bumi Sriwijaya ini. Meninggalkan bapak dan simbok di kampung. Bukannya mereka tak merestui hubunganku dengan Kak Amin. Tapi kemiskinanlah yang mengajari kami agar tak banyak berharap. Mengajari kami agar tak terlalu tinggi menggantung cita, bila jatuh akan sangat sakit rasanya.

Nyatanya, cinta telah membawaku pergi. Cinta telah membuatku berani. Cinta telah berlari dan memaksaku mengejarnya. Meski akhirnya cinta itu hanya meninggalkan luka. Menyisakan aku yang terlunta lunta di sini. Di sudut jembatan Ampera yang berdiri kokoh.

"Amin, Ayah  ndak setuju kamu kawin dengan perempuan Jawa itu !"

Air mataku meleleh. Suara itu terdengar keras dan pedas. Rasanya masih sangat menyakitkan. Meski sudah bertahun terlewatkan. Aku akan tetap di sini. Aku tak akan meninggalkan kota ini. Aku tak bisa beranjak dari sini.

"Ning, kakak akan membelamu di hadapan Ayah. Tekad kakak sudah bulat. Kita akan segera menikah setelah lebaran"

Aku tersenyum. Indah sekali kata katak kak Amin. Kala itu hari menjelang senja. Kami berjalan bersisian. Langit berwarna jingga. Berpadu dengan warna warni lampu led di sepanjang jembatan.

"Tidak Kak. Menurutlah kata Ayah dan Ibu. Kita tidak mungkin menikah tanpa restu. Bukankah cinta tak harus saling memiliki ?"
Aku menangis lagi.  Perih rasanya di hati.


"Kakak akan mencintaimu sampai mati. Tidak ada yang dapat memaksa kita berpisah. Meskipun itu Ayah. Hanya maut yang akan memisahkan kita, Ning"
Aku tersenyum lagi. Tanganku mengepal erat bagai mengenggam tangan kak Amin kala itu.

Kami berdua masih berdiri di sisi jembatan hingga larut malam. Tak bosan memandang riak air dan ketek yang sesekali melintas. Juga restoran apung yang terdapat di sisi sisi Musi. BKB tampak di kejauhan. Juga Gedong Ledeng yang kini menjadi kantor walikota. Indah. Semua indah. Bersama kak Amin semua indah.

Malam itu juga semua berubah. Motor yang kami tumpangi diseruduk truk dari belakang. Kak Amin berpulang membawa cintanya. Meninggalkanku sendiri di kota ini hanya tinggal sebelah kaki.

Ah... Bumi Sriwijaya. Ah, Palembang. Jembatan Ampera. Berulang setiap senja. Langit jingga jatuh di rambutku yang makin  kelabu. Bercampur antara hitam dan putih uban.
Aku tersenyum di sini. Aku menangis di sini. Di sisi jembatan Ampera. Entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti tak kulihat senja lagi.

Serombongan anak anak melintas di dekatku. Sebentar mereka mengawasi. Kemudian berlari menghindar.

"Ada wong gilo, ada wong gilo"


Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan


bib bib
Telepon genggamku mengeluarkan suara pelan.
Segera kusambar, karena aku sudah menunggunya sejak tadi.
"Ya  Anto, gimana ? kamu udah berubah pikiran ?" sergahku to the point.
"Nggak Tik, maaf, besok aku nggak bisa datang"
"Jadi udah mantap nih, gak bakal datang ? Ya, terserah kamu aja. Aku nggak bisa maksa."
"Jangan ngambek gitu dong, Tik"
"Siapa yang ngambek ? Biasa aja kali"
"Nada suaramu Nek.. kita bukan sehari dua kenal"
"Ya udin lah Kek. Terserah kamu. Asal kamu inget aja. Kita bikin janji ini duluan sebelum kamu janji sama Nina"
"Maaf ya Tik. Bapak nugasin aku nemenin Nina keliling Belitong besok"
"Iya. Kamu nggak perlu ngulang apa yang udah kamu jelasin lewat SMS. Emangnya aku nggak tahu siapa Nina"
"Jangan bawa bawa masa lalu dong.."
"Ah sudahlah. Yang kecewa bukan cuma aku. Teman teman juga bakal kecewa. Acara ini sudah kita rencanakan sejak lama. Kita sudah investasi buat survey dan mempersiapkan segalanya. Nggak lucu aja, acaranya ada kok korlapnya nggak ada. Kamu punya waktu semalam Anto, untuk mengambil keputusan yang lebih bijak. bye Anto !" kututup telepon. Aku tak peduli lagi dia miskol berapa kali.

Ah, pulau Lengkuas sudah terbayang di depan mataku. Meski kecil, pulau itu menyimpan sejuta keindahan. Pasir putih, air laut nan jernih, pantai nan landai, makin indah dengan batu batu granit yang bertebaran di sekelilingnya. Dan hobbyku duduk mematung di salah satunya sambil memandang laut lepas.

Mercusuar buatan Belanda yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, menjadi saksi berapa banyak wisatawan yang sudah berkunjung ke sana.Terlebih lagi setelah Belitong menjadi terkenal karena Laskar Pelangi. Maka bertambah lagi wisatawan yang datang ke pulau Lengkuas.

Sayangnya, banyak wisatawan yang hanya datang untuk menyaksikan keindahan. Mereka tidak menyadari bahwa kedatangan mereka membawa tugas baru untuk pemerintah daerah. Air bersih dan sampah. Air bersih sangat terbatas di pulau Lengkuas karena harus didatangkan dari Tanjung Pandan. Tempat pembuangan sampah tidak tersedia, karena pulau itu sangatlah kecil, paling sekitar satu hektar. Sampah sampah plastik banyak berserakan dan ditinggalkan begitu saja.

Nah, besok itu rencananya aku dan teman teman dari Green Teen mau ngadain acara "pungut sampah" di pulau Lengkuas. Dan Anto koordinator lapangannya. Wajar kan, kalau aku sewot pas dia bilang nggak bakal ikut. Udah gitu, alasannya nganterin Nina. Sepupunya sekaligus mantan pacarnya. Huh !

Esoknya.
Kami berkumpul di tempat penyeberangan. Jujur aku berharap Anto datang. Meski aku sanggup menghandle tugasnya, tapi aku menjadi enggan karena alasan ketidakhadirannya itu.
"Gimana Tik ? Apakah kita akan menunggu Anto ? Pak Ramli koordinator perahu udah nanyain kapan mau nyebrang" Rudi koordinator transportasi bertanya.
Aku berpikir sejenak. Huh, kalau saja ada Anto....
"Kalau semua anggota sudah lengkap, kita berangkat aja sekarang" putusku.

"Teman teman, kita berangkat sekarang. Semua naik perahu masing masing. Siapkan kantong kantong sampah kalian. Bahkan kalau terapung dan dapat diraih dengan aman, kalian pun bisa memungutnya. Ayo siap " Rudi memberi aba aba setengah berteriak.

Perahu berjalan pelan. Aku menatap pulau Lengkuas di kejauhan. Pagi kuning keemasan di langitnya. Sayang di langit hatiku sedikit mendung. Ada sedikit desir tak enak membayangkan Anto keliling Belitong dengan Nina. Hmm.. perasaan apa ini. Aku memercik mercik air laut untuk mengusir bayangan Anto dan Nina sekaligus. Aku memercik air lebih keras. Kali aja bisa mengusir Nina kembali ke Jakarta.

Tiba tiba ..
"Tika...... Pak Ramli.... tunggu .... aku ikut kalian..." Aku menoleh ke belakang. Senyumku segera mengembang.
"Akhirnya........." serempak semua anggota Green Teen berteriak gembira.

Note : 500 kata kali ada yah

Selasa, 12 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau

Perempatan jalan Sukarno Hatta suatu siang.
Jam Gadang nampak gagah di ujung sana. Bukit Singgalang yang berpayung awan, menjadi latar yang sempurna.
Cuaca cerah, bahkan cukup panas menurutku.  Sejuknya udara kota ini tak sanggup mendinginkan kepalaku yang sangat panas.
Tiba tiba saja lampu lalu lintas menyala merah, seolah marah. Tak rela aku melintas begitu saja di dekatnya dengan kecepatan 80 km/jam.
Aku tak peduli. Siapa juga yang peduli. Kepalaku panas. Panas sekali.
120 detik. Terlalu lama. Sangat lama untuk membaca pesan pendek yang datang bertubi tubi sepagian ini.
"Kak, adik dapat surat dari sekolah, katanya SPP harus lunas sebelum penerimaan rapot" dari  Clara adikku.
Sejak papa meninggal akhir tahun lalu, biaya sekolah Clara aku yang menanggung. Dan, ah,  aku belum membayarnya sepeserpun di semester dua ini.
"Assalamu'alaikum Pak Abdul. Maaf,  Ini Siti . Bapak barusan di cari pak Budi dari bagian keuangan. Katanya Bapak ada janji dengan beliau" dari Siti, anak magang di ruanganku. Oh. syukurlah pak Budi sopan sekali. Tidak membeberkan tunggakan utangku yang memasuki bulan kedua.
"Pelanggan Yth, mohon diselesaikan tagihan kartu kredit Anda agar tidak masuk black list Bank Indonesia. Abaikan pesan ini bila Anda telah melakukan pembayaran"
Sama saja. Basa basi menagih utang.
"Papa cepat pulang, dede bayi sepertinya  sudah mau melihat dunia luar. Yayang sudah tidak kuat menahan sakit" ini pesan pendek istriku inilah  yang membuatku kebut kebutan di siang bolong ini.
Terik matahari kian memanggang kepala. Masih 30 detik lagi. Terlalu lama. Ingin rasanya kuinjak pedal gigi dan kutarik gas.


siuuuuuuuuuuuutttt ................... brak.  Suara sirine mobil polisi dan ambulan bersahut sahutan.

Harian Singgalang, esok harinya
"Seorang Pengendara Sepeda Motor Tewas Menabrak Truk"