Suara puji-pujian mengalun di masjid. Sebentar lagi tiba saat berbuka.
"Mamaa.... aku mau buka puasa pakai sop buah, terus sama batagor, terus sama es krim cincau juga. Kenapa Mama malah beliin aku es campur, siomay dan es krim? Aku nggak suka semua ini"
Gubrak... krompyang..
Teriakan Fadil disambung gaduh suara piring dan mangkok melamin jatuh ke lantai.
"Astagfirullah.. sayang. Tukang makanan yang kamu pesan masih di kampung. Belum ada yang berjualan. Dan tidak perlu berteriak, karena Mama ada di dekatmu" Ramadani membujuk lembut.
"Tidak mau ! Salah sendiri mau jadi mamaku. Jadi harus mau ngurusin aku" Celoteh Fadil kembali.
Diam-diam kristal bening menggumpal di sudut matanya. Tangannya sibuk mengepel dan membereskan barang-barang yang dijatuhkan Fadil dari meja. Tidak, Ramadani tidak akan marah. Dia hanya bersedih. Anak sekecil Fadil sudah menghadapi kehidupan yang keras. Kekerasan itulah yang membuat perilakunya seperti itu.
Tekadnya kuat, akan menjadi ibu yang baik untuk Fadil. Dia mencintai Fadil satu paket dengan cintanya terhadap Rahman, ayah Fadil.
"Dasar ibu tiri cengeng, dikit-dikit menangis". Fadil berlari keluar rumah sambil mencemooh.
"Ya Allah, kataMu doa orang yang berpuasa itu didengar. Kata-Mu, waktu menjelang buka itu mustajab. Duhai Tuhan Yang Maha Lembut, lembutkan hati anakku... "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar