Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Rabu, 17 Juli 2013

Melupakanmu

Kamu
Aku
Mestinya menjadi kita. Tetapi sayang, terlalu banyak perbedaan yang menjadi penghalang. Mestinya tidak, kalau kita senantiasa saling dukung di hal yang kita sepakati. Apalah artinya perbedaan. Tidaklah dia ada, kecuali untuk memberikan warna.

Kamu laki-laki.
Aku perempuan.
Mestinya menjadi pasangan. Seperti sepatu kiri dan kanan. Kadang bersisian, kadang berjalan bergantian siapa di depan. Tidak masalah. Karena masing masing meyakini bahwa dia punya peran.

Kamu laki - laki, enggak kece tapi berduit.
Aku perempuan, cantik, tak berduit, pandai memasak, pandai mengurus rumah.
Mestinya kita bisa saling menggenapkan.
Iya kan ? Aku menggenapi kekuranganmu. Kamu menggenapi kekuranganku. Kau nikahi saja aku. Tapi aku tak bisa menuntutmu. Karena kodratku hanya menunggu.
Atau aku harus segera melupakanmu. Karena aku hanya babu ibumu.

Selasa, 16 Juli 2013

Kembali

"Aku akan pergi" kata Raka
"Kemana ? Kakak punya tujuan? Terus sekolah kakak gimana? " Selidik Rayi
"Kemana saja kaki membawaku. Gimana nanti saja. Masa Allah akan membiarkan hamba-Nya kelaparan" Raka menjawab ketus
"Bukan begitu kakak, sekarang ini hatimu sedang dipenuhi kemarahan"
"Ya, aku marah. Aku tersinggung dengan kata-kata Papa. Aku bukan anak kecil lagi yang terus menuruti kata-kata Papa. Aku juga punya pendapat, dan Papa tak pernah menanyakan itu"
"Maksud Papa itu baik, semua yang Papa lakukan demi kebaikan kita. Mengertilah, tugas Papa itu berat.  Papa berusaha menjadi ayah sekaligus ibu sejak Mama meninggal lima tahun lalu"
"Ah, banyak orang yang ditinggal istrinya, tapi enggak galak seperti Papa. Kamu aja anak kesayangannya, jadi nggak pernah kena marah"
Rayi menghela nafas.
"Emosi telah menguasai hati dan pikiran kakak. Kakak tidak dapat berfikir jernih"
"Jaga bicaramu. Jangan sok tahu. Jangan juga sok ngatur seperti Papa. Aku tahu apa yang kulakukan"
"Kalau kakak tahu apa yang kakak lakukan, kenapa ngomong sama aku? Itu sama saja kakak mau minggat tapi pamitan" Rayi ikut tersinggung. Kemudian berlalu meninggalkan Raka sendirian.

Percakapan itu masih jelas terekam dalam benak Raka meski sudah berlalu dua lebaran.
Tepat setelah Rayi selesai berkata-kata, Raka pergi meninggalkan rumah. Tempat pertama yang dituju adalah rumah Om Yance, adik Papa. Sempat Papa membujuk agar Raka pulang. Tidak. Hatinya terlanjur patah arang.
Di rumah Om Yance, Raka tidak sanggup bertahan lama. Om Yance juga sama, suka mengatur seperti Papa.
Akhirnya Raka pergi meninggalkan rumah Om Yance.
Langkah kaki membawanya ke tempat ini. Sebuah cafe baru yang membutuhkan pegawai. Raka meninggalkan rumah tanpa membawa berkas-berkas apapun. Nomor hape pun berganti yang baru agar tak seorangpun dapat menemukan atau menghubunginya.

Di cafe ini, hanya posisi office boy saja yang bisa dilamar Raka. Dia terpaksa  menuruti jam kerja  dan peraturan manajer. Lagi-lagi dia diatur-atur, bahkan disuruh-suruh. Raka menekan egonya dalam-dalam. Lumayan, akhir bulan gajian, ada uang untuk membeli pulsa internetan dan sedikit pegangan. Terkadang rasa rindu membuatnya stalking akun facebook dan twitter adiknya. Rayi biasa saja. Tidak pernah sekalipun menyebut Raka sudah pergi meninggalkan rumah.

Hingga malam ini, sebuah pesan masuk di inbox akun facebook Raka.
"Kakak, pulang secepatnya. Papa kecelakaan dan koma. Setiap tersadar, yang di panggil selalu nama kak Raka. Pulanglah, Kak. Papa minta maaf kalau sudah terlalu keras mendidik kita."

NB: adoooh, cerita meuni geje gini x_x

Sabtu, 13 Juli 2013

Doa si Kecil

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Besar
Besarkan badanku, Tuhan
Aku juga ingin segera tinggi,
Agar aku bisa melamar jadi kuli

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Penyayang
Sayangilah Ibuku Tuhan,
jangan Kau kirimkan lagi penyakit
Nanti uang ibuku tambah sedikit

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Kaya
Cukupkan rejeki kami hari ini
Meski hanya segelas air dan sepiring nasi
Agar perut kami berdua dapat terisi

Tuhan, itulah doa kecilku
Untukku dan ibuku
Tolong kabulkan
walau mungkin aku tak sopan

Jumat, 12 Juli 2013

Buka Puasa di Rumah

"Kita harus merencanakan ini dengan cermat" Lelaki dengan badan paling besar bicara dengan suara rendah.
"Betul, kalau sampai rencana kita gagal, kita akan menderita lebih lama lagi" Lelaki botak berperawakan tinggi menimpali.
"Ya, tempat ini sudah penuh sesak. Aku yakin, rencana kita ini akan membuat nyaman penghuni" si lelaki yang tampak lebih muda bicara tenang. Tapi seringainya sangat mencurigakan.
"Kalian semua benar." si lelaki berbadan besar kembali bicara.
"Jadi, sesuai rencana kita, kalian bersiap di tempat tempat yang telah kita tentukan. Begitu jam di ruang utama berbunyi sembilan kali, itulah tanda aksi dimulai".

Saman menahan nafas. Dia tidak tahu persis apa yang direncanakan oleh ketiga orang tadi. Tapi dia yakin bahwa itu adalah sesuatu yang akan merubah hidupnya dalam waktu dekat. Saman ingin pulang. Dia rindu masakan istrinya. Dia rindu celoteh anak-anaknya. Apalagi menjelang berbuka. Semuanya sudah duduk mengelilingi meja. Tiba-tiba dadanya berdegup kencang, tak sabar menunggu pukul sembilan.

Teng... teng... teng... teng..teng...teng...teng... teng...teng

"Kebakaran... kebakaran...."
Pintu lembaga permasyarakatan tiba tiba terbuka lebar.
Tak ada waktu untuk memikirkan siapa pelakunya. Dia sudah siap berlari. Terus berlari bersama puluhan lainnya.
Targetnya satu, besok sore dia bisa buka puasa di rumahnya sendiri.

Kamis, 11 Juli 2013

Harapan Ramadani

Suara puji-pujian mengalun di masjid. Sebentar lagi tiba saat berbuka.
"Mamaa.... aku mau buka puasa pakai sop buah, terus sama batagor, terus sama es krim cincau juga. Kenapa Mama malah beliin aku es campur, siomay dan es krim? Aku nggak suka semua ini"
Gubrak... krompyang..
Teriakan  Fadil disambung gaduh  suara piring dan mangkok melamin jatuh ke lantai.
"Astagfirullah.. sayang. Tukang makanan yang kamu pesan masih di kampung. Belum ada yang berjualan. Dan tidak perlu berteriak, karena Mama ada di dekatmu"  Ramadani membujuk lembut.
"Tidak mau ! Salah sendiri mau jadi mamaku. Jadi harus mau ngurusin aku" Celoteh Fadil kembali.
Diam-diam kristal bening menggumpal di sudut matanya. Tangannya sibuk mengepel dan membereskan barang-barang yang dijatuhkan Fadil dari meja. Tidak, Ramadani tidak akan marah. Dia hanya bersedih. Anak sekecil Fadil sudah menghadapi kehidupan yang keras. Kekerasan itulah yang membuat perilakunya seperti itu.
Tekadnya kuat, akan menjadi ibu yang baik untuk Fadil. Dia mencintai Fadil satu paket dengan cintanya terhadap Rahman, ayah Fadil.
"Dasar ibu tiri cengeng, dikit-dikit menangis".  Fadil berlari keluar rumah sambil mencemooh.
"Ya Allah, kataMu doa orang yang berpuasa itu didengar. Kata-Mu, waktu menjelang buka itu mustajab. Duhai Tuhan Yang Maha Lembut, lembutkan hati anakku... "

Rabu, 10 Juli 2013

Pertama Kalinya

"Nah, anak-anak, demikianlah pelajaran hari ini. Suci, Lila, kalian tidak boleh sikut- sikutan begitu. Nanti setiap kalian akan mempraktekkan pelajaran ini. Hanya soal waktu saja. Sekarang kalian boleh pulang. Jangan lupa ya, bantu ibu kalian menyiapkan buka puasa." Ustazah menutup pengajian ba'da ashar.

Anak- anak perempuan usia tanggung itupun berlarian meninggalkan teras mushola. Kecuali Rodiah. Dia berjalan perlahan.
Sesuatu terasa merayap di sela - sela kakinya. Ini bukan ngompol. 
"Rodiah, tunggu!" Panggilan Ustazah menghentikan langkahnya. 
"Sarungmu bernoda, darahkah?"
Rodiah mengangguk lemah.

Usianya 14 kini. Semua teman sekelasnya sudah menjadi perempuan dewasa. Tinggal dia saja yang belum. Dia memang menunggu saat-saat itu. Tapi sungguh, kalau boleh meminta, itu tidak datang di hari pertama Ramadhan.

Senin, 01 Juli 2013

Rahasia Kapten Bhirawa

Memasuki usia pensiun, Kamaratih tetaplah jelita. Setiap dia bicara, suaminya selalu menatap penuh cinta. Terkadang  membuatnya tersipu, meski tatapan itu menjaga debar-debar cintanya hingga kini.
"Mamah ngantor cuma perpisahan. Besok Mamah resmi pensiun."
"Berangkatlah sayang.  Pulangnya  bawa jus wortel ya"
Kamaratih mencium  suaminya.  Bhirawa menatap kabur  istrinya. Sudah lama dia mengandalkan keahlian membaca gerak bibir untuk mendengar. Entah bagaimana  kalau matanya  rabun nanti.