Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Jumat, 14 September 2012

Jangan Panggil Aku Cinta

Sambungan yang kemaren

Ups.... Wita kaget sendiri ketika melihat siapa yang ada di depan pintu kostnya.

"Milih mana, aku maksa masuk kamarmu, atau nemenin aku ngobrol di ruang tamu ?"
Wita menarik nafas panjang.
Tanpa menjawab dia berjalan ke ruang tamu kostnya.

"Ada apa Titiyang ke sini ?"
"Cinta, dengarkan. Titiyang akan kasih penjelasan"
"Nggak perlu. Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dan ini bukan yang pertama kali"
"Ta, kamu hanya berprasangka. Tak ada apapun antara aku dengan siapa lah yang engkau tuduhkan itu"
"Nggak ada apa apa ? Jadi ngapain mention mention, paging paging, colek colek, kalau nggak ada apa apa ? Ngapain juga Titiyang bersedia membalas semua itu ? Bersedia mendengar semua keluhan keluhannya ? Bersedia memberikan penghiburan ? Sesuatu yang tidak pernah Titiyang berikan padaku"
"Itu karena Titiyang percaya, Cinta orang yang mandiri dan tegar"
"Bohong semua itu ! Hanya alasanmu saja"
"Cinta.... percalah padaku. Hati ini hanya untukmu. Itu tuntutan pekerjaan, kalau aku harus menemani klien dan meng-entertaint mereka"
"Sudah, jangan panggil lagi aku cinta. Namaku Juwita. Panggil saja Wita. Silakan pulang, dan aku akan masuk kamarku"

Wita berjalan tegak meninggalkan Bujana sendirian di ruang kost itu.

ketika ku lihat kau bersama dia
tak ada penyesalan dalam hidupku
dan apa yang ku rasakan saat ini
seperti dahulu ku tak mengenalmu

ketika ku lihat kau bersama dia
tak ada lagi hasrat dalam hidupku
kepada dirimu yang dulu tercinta
tak ada lagi kenangan, takkan lagi harapan

-Citra Skolastika-

Selasa, 11 September 2012

Cintaku Berkhianat

-Namaku cinta, saat kita bersama
berbagi rasa, untuk selamanya. 

Wida bersyukur Tita mau meminjamkan  mobilnya. Kaca mobil itu dilapis sampai 80%. Siapapun yang duduk di dalamnya,  tidak akan terlihat dari luar. Dan Wida dapat leluasa memperhatikan halaman kantor itu.
Wida bersyukur juga, halaman restoran ini cukup penuh. Mobil Tita berbaur dengan kendaraan kendaraan lain. Petugas parkirnya pun tidak rese. Sehingga dia tidak ditanya tanya, kenapa sedari tadi tidak kunjung keluar dari mobilnya. Memang Wida tidak 100% berniat makan di restoran  tersebut. Kalaupun jadi masuk restoran, dia bisa cocok dengan menu apa saja yang ada di sana. Bagi Wida, tidak penting makan apa dan di mana. Karena dia suka semua jenis masakan. Yang lebih penting adalah makan dengan siapa, karena dia dapat menikmati suasananya.

Wida mencari cari telepon genggamnya di samping jok tempat dia duduk. Jari jemarinya kemudian  mengetik sebaris kalimat.
"Yang, makan yuk..."  dan menekan tanda kirim
Ditunggunya beberapa detik. Terkirim. Ditunggu lagi beberapa detik, tidak ada jawaban.
Matanya kembali mengarah ke halaman kantor di seberang restoran.

Sepasang laki laki yang dikenalnya dan perempuan yang diketahuinya dari jejaring sosial, terlihat keluar dari kantor tersebut.
Mata Wida memanas. Jantungnya tiba tiba berdegup lebih keras. Bibirnya gemetar.
Tapi tetap diperhatikannya kedua orang itu, yang berjalan beriringan. Bercanda dan tertawa tawa. Si perempuan terlihat menatap manja pada si laki laki. Tapi si laki laki tetap tenang, seperti yang Wida kenal.
Kemudian si lelaki terlihat mengeluarkan telepon genggam dari saku celana panjangnya. Dilihatnya benda itu sekilas. Mungkin membaca pesan. Si perempuan diam sejenak.

Wida menahan nafas. Kemudian bergumam pelam  " balas ... balas.. balas.. plisss "

Si laki laki tampak memasukkan telepon genggam ke saku kemeja. Mereka berdua berjalan ke arah jalan raya. Tampak akrab. Air mata Wida berjatuhan tanpa bisa di tahannya. Dia juga tak berusaha untuk mengusapnya. Biar saja, toh tak seorangpun melihatnya. Sudah biasa dia menangis tanpa suara seperti itu.

Wida mencari cari sebuah nama di telepon genggamnya.
Ditariknya nafas panjang lalu dia menelponnya Yayang. Pandangan matanya tetap tertuju pada sepasang manusia yang kini sudah berdiri di pinggir jalan raya. Hanya berjarak sekian meter dari tempatnya parkir.

Si laki laki mengambil lagi telepon genggam di saku kemeja. Si perempuan di sampingnya menengok kiri kanan. Seperti menunggu atau mencari sesuatu.
"Hai Cinta...." terdengar suara di telepon Wida.
"Hai Sayang, smsku udah masuk?" tanya Wida. Suaranya sudah kembali normal.
"Sudah "
"Kenapa Yayang gak balas ?"
"Maaf, aku masih menemani klien nih" si laki laki menatap ke arah restoran.
"Makan siang berdua yuk  ?"
"Waaah.... hari ini aku nggak bisa"
"Ya udah deh"
"Kamu nggak marah kan ?"
"Oke gak papa. Mungkin bukan jatah aku hari ini makan sama kamu"
Klik !
Wida menutup pembicaraan. Air matanya jatuh berderaian. Si laki laki tampak memasukkan telepon genggamnya ke saku kemeja.

Tak lama kemudian, si perempuan menghentikan taksi. Si laki laki membukakan pintu, si perempuan masuk diiringi si laki laki. Taksi pun melaju, dan membawa mereka berdua entah kemana. 

Hingga tiba saatnya aku pun melihat
cintaku yang khianat, cintaku berkhianat


-rumor . butiran debu-

Sabtu, 08 September 2012

Tentang Kita

bila kuingat, senyum manismu
takkan habis waktu melamun

Mas, detik rasanya berjalan lambat di sini. Mungkin sebenarnya dia mau menemaniku. Tapi aku malah jadi malas. (Mendingan juga ditemenin Mas ya..) Lebih baik dia berlari saja, biar waktu segera berlalu. Hari berganti. Malam datang, pagi menggantikan. Terus dan terus. Supaya hitungan waktu ini segera genap. Aku rindu, Mas. Rasanya tak sabar menanti saatnya pertemuan.
Aku ingat terus senyuman Mas, tatapan Mas. Semuanya masih membuatku berdebar debar. Dan aku yakin akan selalu demikian. Meski Mas dah jauh sekalipun, debarnya tetap sama. Apalagi kalau kuingat saat saat kita bersama. Tak pernah ada yang menggandeng tanganku dengan cara menyelusupkan jari jari sepertimu. Belum pernah ada yang merapikan jilbabku seraya menyembunyikan anak anak rambut yang mengintip. Belum pernah ada laki laki yang memelukku seraya mengusap usap punggung. Belum pernah ada yang memintaku memeluk erat saat memboncengku. Hihi.. . dan belum pernah ada laki laki yang menemaniku tidur, selainmu. Pokoknya kangen kangen kangen


Oya Mas, permohonan pindah mengikuti suami sudah aku ajukan segera setelah cutiku habis kemaren. Untungnya berkas berkas Mas lengkap, jadi surat itu bisa segera diproses. Alhamdulillah, kepala kantor menjanjikan akan membantu. Dan benar, berkas surat permohonanku hari ini sudah diteruskan ke kantor pusat. (Kata kepala kantor sih, semoga bisa cepat, soalnya di saat orang orang nggak mau dipindah ke daerah terpencil, aku malah minta pindah ke daerah terpencil.) Mas tolong berdoa ya... biar prosesnya cepat. Normalnya tiga bulan. Tapi tiga bulan itu kan lammmmaaa... Masa' aku harus nunggu tiga bulan lagi baru bisa ketemu Mas, dan berkumpul dengan Mas, lalu kita menjadi keluarga. Plis, bantu doa ya..

Nah, Masku sayang, segini dulu kabar hari ini. Besok aku tulis surat lagi tanpa menunggu balasan darimu.
Peluk cium dari istrimu di sini. Jaga diri baik baik ya... calon ayah !

****

bila kuingat canda tawamu
takkan habis waktu berangan


De, Mas sudah sampai di rumah kita. Meski rumah ini rumah dinas, milik negara, tapi Mas eh kita yah kita, bakal menjadi penghuni pertama. Rumah dinas ini baru selesai dibangun. Ini akan jadi rumah pertama kita. Rumah cinta kita. Nggak papa kan, Mas baru bisa menyediakan rumah dinas untuk tempat berteduh keluarga kita ? Allah kan menjamin rejeki orang yang sudah menikah, Allah akan memampukan kalau mereka belum mampu. Suatu saat, insya Allah kita bakal punya rumah sendiri ya...Amiin.
Rumahnya kita ini kecil, dua kamar, dapur dan kamar mandi di luar, di belakang. Nanti kalau kamu sudah sampai di sini, kita buat pagar tinggi di halaman belakang. Biar kamu bisa berkebun tanpa harus berkerudung. Halaman depannya luas sekali, seluas lapangan bola. Karena memang itu lapangan bola untuk warga komplek. Hehe..  Di sini juga dekat pantai, nanti kita bisa lihat matahari terbit ataupun menikmati senja di pantai kapanpun Ade mau. Makanya cepat ngajuin pindahnya... 

De, Mas pengennya di sini malam terus. Biar Mas tidur dan tak merasakan waktu, sehingga tiga bulan perkiraan proses pindahmu itu segera berakhir. Apalagi kalau sepanjang malam ada Ade yang menemani tidur. Soalnya kalau sudah ketemu siang, malamnya jadi takut mau masuk kamar.  Bukannya takut hantu, tapi takut ingat yang enggak enggak,(eh yang iya iya ding) saat kebersamaan kita kemaren. Di kamar sudah ada barang barangmu. Sudah Mas rapikan. Pakaianmu juga sudah Mas simpan di lemari.  Kalau tahu akibatnya bakal seperti ini, nggak Mas buka dulu deh, property kamu. Bikin kangen. Kangen banget.

Ade sayang, belahan jiwa. Mas selalu berdoa, bahkan sejak detik pertama perpisahan kita. Semoga proses pindahmu cepat, sehingga kita bisa segera berkumpul sebagai sebuah keluarga. Mas akan menjagamu kini dan membahagiakanmu. Lalu nanti kita punya anak anak yang lucu, sehat, cerdas, dan tentu saja, sholeh. Maka lengkaplah surga kita di dunia ini. Amiin.

Cukup segini dulu kabar Mas hari ini. Besok kalau nggak keasyikan ngelamunin kamu, Mas nulis surat lagi.
*sama suami jangan cuma kasih peluk cium dooonggg...* Jaga diri baik baik ya, calon ibu !

*****

Bila kuingat senyum manismu
Takkan habis waktu melamun
Bila kuingat canda tawamu
Takkan habis waktu berangan
Ingin kumiliki hari selamanya
Berdua denganmu selamanya
Bukan hanya angan yang kelamaan
Bila kuingat janji manismu
Kutunggu sampai malam meninggalkanku
Semoga bukan angan yang kelamaan.... 
(Lingua - Bila Kuingat)

Rabu, 05 September 2012

Kaukah Untukku ?

sejenak hatiku meragu
suara hatiku membisu

Menatapmu seperti menatap bayangan. Ada, dekat, dapat kulihat. Tapi aku tak pernah dapat menyentuhmu.  Kau bisa tiba tiba sirna, saat cahaya ditelan gulita.
"Yan, makan yuuuk ?' ajakku setiap siang.
"Males ah, belum laper nih... Aku tadi pagi sarapannya kesiangan" katamu. Dan ini entah yang keberapa kali kau menolak kuajak makan siang. 
Ada saja alasanmu. Semuanya tidak dapat aku mengerti.  Seperti tidak mengertinya diriku padamu yang kadang menunjukkan perhatian yang tidak pernah aku terima dari orang selainmu.
"Jangan sedih melulu, nanti hilang senyummu"
"Jangan membuat standar yang terlalu tinggi untuk kebahagiaanmu, nanti kamu enggak pernah bahagia"

"Jangan minum soda, ingat lambungmu" katamu sambil begitu saja mengambil minuman soda di tanganku.
Marahkah aku ? Tentu tidak. Justru aku merasa tersanjung. Terbang, tanpa aku tahu arahnya, dan untuk berapa lama, dan bagaimana aku mendaratnya. Apakah akan tumbuh sayapku dengan harapan harapan itu ? Atau justru aku akan jatuh terhempas. Kandas.
Tapi aku tak peduli, selama masih kutemui dirimu, maka harapan itu masih akan tetap bersemi di hatiku. Tak perlu aku bertanya kenapa, karena akupun tak tahu jawabannya.
kehampaan kian terasa
akan sesuatu yang tiada


Mungkin sedikit orang yang sanggup untuk bertahan dalam ketidakpastian. Apalagi bila menyangkut ketidakpastian status. Berteman ? Tapi dekat. Bersahabat ? Tapi mesra. Pacaran ? Tapi nggak pernah ada pernyataan. Sampai kapan ?  Entahlah. Akan indah pada waktunya ? Kapan ? Sabarlah. Tak akan pernah habis. 
Tapi biarlah. Akulah salah satu dari yang sedikit itu. Bukankah para pecinta sejati akan selalu kuat bertahan ? Bukankah cinta sejati akan memberi energi ? Pecinta sejati  selalu memberi tanpa diminta, tanpa mengharap balas, dan cukuplah baginya memberi itu menjadi ekspresi cintanya. Seperti mentari yang menyinari bumi. Bumi hanya menerima. Tak pernah sekalipun membalas kebaikan mentari padanya.

kurindukan suasana baru
yang akan merubah hidupku



"Hesti.. makan yuk ?" ajakmu. 
"Yuk... " kataku segera, takut kamu berubah pikiran
"Hei, bukan sekarang. Tapi nanti malam"
"Nanti malam ?  Oya ya, siap! " Kataku sambil ambil posisi hormat.
"Bener niy ?" godamu
"Sueer... perasaan aku belum pernah ingkar janji deh"
"Oke, nanti malam aku jemput kamu !"
"Jemput ? Emang kita mau makan di mana ? Biasanya janjian di TKP"
"Sudahlah, katamu siap"
"Oya ya... siap komandan !" 
Taksi berhenti di sebuah kafe di Jalan Progo. Suasanya romantis. Lampu gantung  yang menghiasi langit langit bagaikan kerlip bintang di langit hatiku. Aku tarik nafasku perlahan. Tak ingin debar jantungku terdengar sampai sebelahku.
"Hesti, aku cuman mau kasih kabar gembira sama kamu. Mulai hari ini aku resmi menjadi pegawai negeri. So, aku traktir kamu di tempat ini. Kemudian, aku juga mau ngucapin terima kasih sama kamu. Udah mau berteman sama aku yang  moody, bahkan mau jadi sahabatku. So, selanjutnya, maukah kamu jadi calon ibu dari anak anakku ?"

kau datang seketika, mengejutkan jiwa
sehingga kuterlena, sekejap kumerasa
kau datang, demi kebahagiaanku


*terinspirasi dari lagu Kau Datang by Trie Utami











Senin, 18 Juni 2012

Biru, Jatuh Hati


Ombak laut selatan silih berganti menerpa batu di bawah kakiku. Menderu didorong angin dan akhirnya pecah. Kutatap langit yang berujung di garis cakrawala. Pulau Nusakambangan nun jauh di sisi kiri. Samar samar tertutup entah kabut entah awan.

Inilah tempat favoritku. Diujung dataran yang menjorok ke laut. Di atas tebing batu. Di bawah pepohonan. Sempurna. Tak seorangpun lalu lalang di  sekitarku. Tak kan seorang pun membuyarkan lamunanku.
Setiap aku rindu, pasti aku akan kembali ke sini.

"Rindu ? Rindu aku ? Mas ngaco. Kayak nggak pernah ketemu aja. Baru lima menit lalu aku mention Mas. !"  tawaku lepas kala itu.
Kemudian aku berlari menerjang ombak. Engkau pun berlari mengejar. Dan kita tertawa.

"Mas tau nggak ? Aku tuh udah menganggap Mas seperti kakakku sendiri. Aku bisa tertawa lepas, bisa curhat dengan bebas dan nyaman, karena Mas selalu ngertiin aku. Kalaupun aku sayang Mas, itu bukanlah rasa sayang antara perempuan terhadap laki laki. Catat ya, bukan sayangnya seorang perempuan terhadap seorang laki laki. Tetapi, rasa sayang itu lebih mendekati sayangnya seorang adik terhadap kakak. Apalagi aku memang nggak punya kakak. Jadi please deh, jangan rusak pertemanan kita ini  dengan kata kata cinta dan sejenisnya" Aku serius.

"Mas juga begitu, pada mulanya. Tapi setelah bertahun tahun kita lalui bersama, mulai dulu kita main layang layang di lapangan bola, kemudian sama sama ikut karate di polres, kemudian kita pisah kota karena aku kuliah di Yogya dan kamu di Bandung, aku mulai merasakan ada yang berbeda. Entah kenapa, setiap aku mencoba mendekati teman perempuan untuk jadi kekasih, selalu kubandingkan dengan dirimu, dek"

Aku mendengus.
"Eits, stop ! Jangan mendramatisir. Tak ada manusia yang sempurna. Dan tak ada perempuan yang mau dibanding-bandingkan. Semua pasti punya kelebihan. Kali aja Mas belum serius mendekatinya. Percayalah, Mas hanya butuh waktu lebih banyak bersamanya."

"Sayangnya, mungkin tidak demikian. Setiap perempuan yang sudah jalan dengan Mas, pasti mereka akan cemburu padamu. Walaupun belum satupun yang pernah bertemu kamu.  Setelah mereka melihat, segitu banyak foto foto kita di kamar kosku. Segitu banyak komen komen kamu di wall facebook-ku. Dan segitu sering kita saling tweet dan mention, siapapun bakal mengambil kesimpulan ada suatu hubungan antara kita."

"Aaaah.. itu sih, karena Mas nggak sungguh sungguh meyakinkan dia. Coba deh. Suatu saat nanti, pasti Mas bakalan ketemu dengan seseorang yang bisa ngertiin Mas apa adanya" sahutku ringan.

Kami pun melanjutkan bercengkerama di pantai ini. Duduk berlama lama memandang pantai. Membiarkan kaki dan pakaian kami basah disapu ombak.

Tapi itu udah dulu sekali. Ah tidak, baru setahun eh dua tahun. Lama juga ya.. Seperti apa mas Bagas tampak aslinya ?  Dan itulah pertemuan terakhirku dengan Mas Bagas. Kami masih saling mention dan saling komen. Tapi tidak pernah lagi bertemu. Mas Bagas seperti menghindariku. Apa seperti ini ya, yang namanya rindu.

Dan kini, selembar undangan ada di tanganku.

Undangan, 18 Juni 2012

Bagas Asmarandana
dengan 
Ratih Kusumastuti


Akhirnya Mas Bagas menemukan orang yang dapat mengerti dia seutuhnya. Mestinya aku hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagasku menikah dengan orang yang dicintai dan mencintainya. Tetapi, kenapa setelah dua tahun tidak bertemu ? Kenapa dia tidak datang dulu padaku ? Mengenalkan mbak Ratih padaku ? Kenapa ada rasa asing dalam hatiku. Seperti rasa sakit, rasa kecewa atau apalah. Yang jelas aku tidak nyaman menghadapinya.

Ah, siapa kamu. Sehingga kamu punya ukuran mestinya mestinya dan  kenapa kenapa tentang Mas Bagas. Sisi batinku yang lain mencoba menganulir cara berpikirku.

Tidak ternyata aku tidak cukup kuat untuk hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagas dan mempelainya berbahagia di pelaminan. Maka aku memilih di sini. Di bibir pantai Pangandaran. Sendirian. Kutelungkupkan kepalaku ke atas lutut. Kubiarkan angin laut memainkan rambutku. Entah sampai berapa lama. Mungkin aku tertidur di sini.

"Dor !" Tiba tiba sebuah suara mengejutkanku. Hanya satu orang yang tahu tempat favoritku ini.
"Mas Bagas ? Bukannya....." Aku buru buru mengusap bekas air mata di pipiku.
"Hehehe... Maafkan Biru. Aku ngerjain kamu. Tidak ada pernikahan itu. Itu undangan main main yang kubuat sendiri. Sekarang aku bisnis percetakan. Aku hanya ingin menjajagi perasaanmu. Aku mau melihat apa reaksimu. Daaan......" kata Mas Bagas sambil  membuka tangannya dan tersenyum jenaka.
"Mas Bagas jahaaaaaaaaaaaaaattt " aku berteriak dan lari ke pelukannya. Kupukul-pukul dadanya yang bidang.
Mas Bagas memelukku erat. Air mataku deras mengalir membasahi T-shirtnya.

"Biru, aku nggak akan memanggilmu "dek" lagi. Karena kamu bukan adikku" Mas Bagas berbisik di telingaku. Jarinya menjentik hidungku.
Aku masih menahan isak. Aku mengangguk dan makin menenggelamkan kepalaku ke dalam peluknya. Mas Bagas memang bukan kakakku. Dan aku telah jatuh hati padanya.









Sehangat Serabi Solo

Pasar Klewer, Solo

Untuk mendapatkan serabi solo kalian tidak harus ke Solo.
Karena sekarang sudah banyak yang menjual serabi solo ke luar kota Solo.
Tidak juga harus mendatangiku di depan pasar Klewer ini, di Kedai Serabi Solo "Putri Solo"
Tapi, akan berbeda kalau kau mendapatkannya di tempat asal. Serabi Solo yang dibeli di kota Solo.

Sudah hampir sepuluh tahun aku dan suamiku membuka kedai serabi solo.
Alhamdulillah selalu laris manis. Apalagi di musim liburan seperti sekarang.
Kutatap suamiku yang sedang mengaduk aduk arang agar bara apinya rata.
Setiap gerakan tangannya bagai mengaduk aduk perasaanku yang entahlah, aku tak tahu apa ini namanya.

"Kenapa menatap Aa seperti itu, Neng  ?" Pertanyaaan Aa mengagetkanku.
"Aa makin kasep kalau lagi kerja dan bersimbah peluh, jadi Neng makin suka ngeliatin Aa"
"Ah, Neng merayu. Pasti ada maunya nih..."
"Enggak lah A.... kan emang Neng sayang dan cinta sama Aa"
"Ish, sudah, nih, anterin serabi ke pembeli di meja 10 tuh. Ngeliatin kita dari tadi." Kata Aa sambil menyorongkan sepiring serabi pesanan.

Jangan heran aku memanggil di Aa. Memang Aa berasal dari Bandung. Aku yang asli Solo. Tapi jangan salah, dalam hal mengolah serabi, Aa lebih jago dari aku. Selain  karena dia kuliah di bidang kuliner dia  juga belajar langsung dari Bapak.

Aku duduk diam di sudut kedai. Kebetulan pembeli sudah mulai sepi.
Sehabis mencuci tangannya yang tercoreng arang dan terciprat abu di sana sini, Aa duduk di depanku.
Dia menarik kursi di seberang mejaku.  Dipegangnya tanganku.
"Neng masih memikirkan soal reuni Aa ?"
Aku menunduk sambil membetulkan letak kerudungku.
"Nanti siapa yang membantu Neng di kedai kita selama Aa di Bandung ?" tanyaku berdalih
"Kan ada de Joko yang sudah menyanggupi. Aa yakin bukan karena itu. Neng khawatir Aa bakal CLBK ?"
Aku makin menunduk. Selama ini aku selalu mengikuti saja keputusan Aa. Aku selalu menerima apa pun yang dia katakan atau apapun yang dia lakukan.
Tapi, untuk yang satu ini rasanya agak sedikit berat.
Aku tahu siapa dan bagaimana teman teman kuliah Aa di tempat itu.
Aku juga tahu pergaulan macam apa diantara mereka. Dan aku tak mau, masa lalu kembali menarik Aa.
Aku menarik nafas.  Kutatap mata Aa. Barangkali aku bisa melongok sedikit ke dalam hatinya. Apakah masih hanya diriku seorang dan tak ada lainnya.
"Yakinlah Neng, Aa akan menjaga diri selama di Bandung"
Hatiku memberontak. Menjaga diri bagaimana. Aku tahu Aa yang tidak pernah mau berkonflik. Sekecil apapun.
Misalnya saja,  dia masih susah untuk menjaga diri tidak salaman dengan perempuan. Alasannya? Alasan ringan, menurutku. Malah dia selalu membalikkan pernyataan, "kamu enak, pake kerudung. Bisa menolak salaman." Huh !
Justru itulah, karena Aa nggak pake kerudung, dan teman temannya pasti banyak yang belum tahu Aa sudah berubah, aku nggak rela rasanya nanti tangan Aa ditarik tarik ke panggung diajak berjoged. Dipeluk peluk dan cipika cipiki. Memangnya aku nggak tahu apa ! Pertemanan seperti apa yang dulu dijalani Aa, toh kami berasal dari kampus yang sama. Hanya beda angkatan dan jurusan.
"Bicaralah, Neng. Kalau Neng nggak ridho Aa ikut reuni, Aa nggak akan berangkat"
"Kata - kata Aa seakan akan menimpakan segala resiko reuni padaku." kataku dingin.
"Bukannya begitu... maksud Aa... " kata kata Aa menggantung di udara.

Bagaimanapun aku menenangkan hatiku, tetap saja aku tidak berhasil. Bagaimanapun aku berusaha berpikiran positif, selalu saja hal negatif yang muncul. Terlalu berat. Sangat berat rasanya melepas Aa.

"Terserah Aa aja lah.. Hanya satu permintaan Neng. Tolong deh Aa renungkan, seandainya kali ini angkatan Neng yang ngadain reuni, dan kemudian Neng ikut. Terus Neng diperlakukan teman teman laki laki Neng jaman kuliah dulu seperti yang teman teman perempuan Aa memperlakukan Aa dahulu, Aa bakal ridho nggak, Neng berangkat reuni. Kalau Aa ridho, Neng juga akan berusaha ridho"

Kataku sambil beranjak meninggalkan Aa di meja. Akhirnya kusampaikan juga segala yang mengganjal perasaanku. Berat sekali. Karena selama sepuluh tahun menikah, belum pernah sekalipun aku membantah Aa atau  tidak setuju dengan keputusan Aa.

Esoknya kutunggu de Joko datang dari rumah Bapak dan Ibu. Dia harus menjemputku untuk membawa bahan serabi ke kedai. Karena pagi ini Aa akan berangkat ke Bandung.
Aku duduk mematung di teras kontrakanku.

"Yuk kita berangkat Neng ..." Tiba tiba suamiku muncul dari dalam rumah.
"Aa nggak jadi ke Bandung ?"
"Setelah Aa pikir pikir, kayaknya Aa juga bakal nggak rela melepas Neng ke masa lalu.  Ketemu dengan teman teman laki laki Neng yang belum menjaga batas batas pergaulan. Lagipula Neng, Aa akan ketemu mereka paling cepat kan setahun sekali. Ngapain Aa memberati mereka, dan menjaga perasaan mereka agar tidak kecewa karena Aa nggak datang ? Toh akan banyak orang nantinya. Sedangkan di rumah ini, hanya ada Neng seorang. Nggak akan ada pengganti di hati Neng kalau Aa pergi.  Kita akan ketemu setiap hari. Kalau hari ini Aa melukai perasaan  Neng, Aa pasti malu ketemu Neng besok hari. Dan Aa nggak tahu bagaimana lagi Aa mengobati perasaan Neng."

Aku peluk suamiku erat erat. Ada yang menghangat di sudut - sudut mataku. Tidak, tidak akan kuhapus. Akan kubiarkan Aa tahu. 
"Itu keputusan Aa kan ? bukan keputusan Neng ya.." kataku merajuk
Aa mengangguk dan membalas pelukanku lebih erat.
Kehangatan menjalar di dadaku. Sehangat serabi solo dari kedai kami berdua.




Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga

Braga, Desember 2006
Festival Braga
Sepanjang jalan Braga dipenuhi ornamen bambu. Ada ayunan besar serupa balai- balai. Ada semacam wuwu* super besar, hingga anak anak dapat masuk ke dalamnya. Anyaman bambu berbentuk naga berdiri melintang di tengah jalan. Aneka jajanan kampung tersedia di stand stand yang ada. Ada juga pameran sepeda tua dari Perkumpulan Sepeda Baheula.

Tapi aku ke sini bukan hendak bersenang senang. Aku ingin melihat Braga. Meski hanya di siang hari. Sudah tiga hari ini Mas Bejo tidak pulang ke rumah. Anehnya, setiap aku telepon ke kantor, katanya dia sedang tugas ke luar. Sekali waktu ke cabang Surapati. Sekali waktu mengantar surat ke kantor pos. Berarti dia masuk kantor. Kemana gerangan dia di malam hari. Dari desas desus ibu ibu Dharma Wanita kudengar suamiku tergila gila dengan kehidupan malam di jalan Braga.

Memang kuakui dia sering pulang malam. Kadang bahkan di pagi buta. Bukan, dia bukan main perempuan. Aku tahu itu. Mas Bejo laki laki miskin, tak akan ada perempuan malam yang akan meliriknya. Kalaupun melirik, mungkin lirikan itu hanyalah berarti belas kasihan.
Aku tahu dia terkungkung di meja judi. Kegemaran kanak kanak yang terbawa sampai dewasa. Awalnya dulu sering bermain kipyik yang ada di keramaian pertunjukan wayang kulit. Di ujung kampung manapun, pasti dia datangi. Memang bukan judi besar besaran. Ini hanya permainan koin dan dadu. Tapi itu sungguh seperti candu baginya. Setiap kuingatkan, dia hanya diam dan masuk kamar.

Mas Bejo selalu memberi uang gajinya dengan jumlah yang tetap padaku. Mas Bejo tidak pernah marah marah di rumah. Tidak pernah berlaku kasar terhadap anak anak. Aku tidak punya alasan untuk menuntut lebih keras. Hanya doa yang selalu kupanjatkan, semoga Allah memberinya kesadaran, suatu saat. Entah kapan.

Sering kudapati di larut malam, dia pulang dengan mata sembab karena menahan kantuk. Sedang esok harus pergi pagi pagi ke kantor. Kadang juga pulang subuh, si Sulung pergi ke masjid, ayahnya baru pulang dari meja judi.

Aneh. Meskipun aku hanyalah tamatan SMP dan tinggal di rumah, tapi hati kecilku bertanya. Apakah tidak ada peraturan yang melarang pegawai  berbuat seperti itu. Apakah  atasannya tidak tahu. Atau pura pura tidak tahu ? Atau tidak peduli ? Siapalah yang peduli dengan pegawai golongan rendah seperti dia. Tak menghasilkan setoran atau upeti. Yang penting hadir tiap hari untuk disuruh ke sana ke mari. Tapi aku bisa apa ? Aku hanyalah seorang istri yang hanya tinggal di rumah.


Asia Afrika, Maret 2007
"Ibu Bejo, mohon maaf Ibu saya undang ke sini. Mohon dimaklumi, saya tidak dapat bersilaturrahim ke rumah Ibu. " ujar perempuan cantik di hadapanku. Aku tengah menghadapnya. Ada meja besar di antara kami berdua. Mungkin dia atasan suamiku, karena duduknya sendiri di ruangan sebesar ini.

"Iya Bu, tidak apa-apa. Rumah saya tidak pantas untuk di datangi. Lagi pula susah nanti mencarinya. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu ? Apakah suami saya berbuat kesalahan, atau mendapat hukuman ?" tanyaku

"Saya yakin ibu juga tahu kebiasaan suami Ibu. Saya hanya ingin menyampaikan, bahwa sekarang, saya di sini dan teman teman di sini, sedang berusaha untuk menyadarkan Pak Bejo. Agar kebiasaan itu sedikit demi sedikit dikurangi, dan akhirnya ditinggalkan. Karena terus terang saja, yang dilakukan Bapak sebenarnya sudah melanggar peraturan pegawai dan dapat mencemarkan nama baik kantor. Walaupun demikian, kami tidak ingin menyelesaikannya  dengan langsung menghukum, tapi kami berusaha menyadarkan"  perempuan cantik itu menjelaskan panjang lebar.
"Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian dan kebaikan Ibu." ucapku penuh syukur. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang peduli pada suamiku.
"Sama - sama Bu. Hanya saja, untuk sementara ini, saya akan memindahkan Bapak agak jauh ke luar kota. Harapan kami, bila tidak berdekatan dengan jalan Braga, Bapak tidak akan tergoda untuk kembali ke sana."
Aku tertegun sejenak.
"Dipindah ke mana Bu ?" gagap aku bertanya. Belum pernah kami berpisah kota.
"Tempat persisnya belum tahu, Ibu siap siap saja"
"Baik Bu, apapun itu. Demi kebaikan Mas Bejo dan masa depan anak - anak, saya menerima dengan ridho apapun keputusan Ibu"

Braga, Bank Muamalat,  2012
"Pak Bejo dan Ibu, alhamdulillah, tabungan Bapak dan Ibu sudah mencukupi. Insya Allah, tahun ini Bapak dan Ibu dapat berangkat ke tanah suci."
Aku memandang suamiku. Dia membalas dan tersenyum. Tak kuasa aku menahan haru. Kugenggam erat tangan suamiku.
Alhamdulillah  ya Allah, telah Engkau berikan kesadaran kepadanya. Tidak sia sia lima tahun pisah kota.
"Terima kasih, Mbak" Jawabku tanpa bisa berkata lebih panjang.












Kerudung Merah

hotel tarabunga*

Perahu hotel menjemput kami dari daratan Balige.
Anak anak ramai berceloteh. Semua wajah terlihat cerah ceria.
Semua lulus dengan nilai memuaskan.
Meski aku yakin, ada satu dua atau tiga empat atau entah berapa mendapatkan dari contekan.
Aku tak mau tahu. Itu bukan urusanku dan bukan kewenanganku.

Beberapa duduk berpasangan. Kesempatan. Kapan lagi bisa bepergian seperti ini. Ini adalah malam perpisahan. Pantaslah bila tak ingin kehilangan, meski satu jenak pun kejadian.

Beberapa anak  perempuan duduk berhadapan. Di sudut lain para lelaki membuat gerombolan juga. Duduklah suka suka. Mumpung perahu ini hanya melayani kita.

Ada yang duduk sendiri menatap Toba. Menatap ikan pora pora yang berenang riang. Angin yang menghembus, membuat permukaan danau beriak. Airnya biru. Luas terhampar dipayungi langit yang biru juga. Bukit  Barisan dengan hutan pinusnya bak pagar keliling. Sempurna. Kuasa Tuhan menyatu di Toba. Sedetik aku tertegun, kagum. Terbersit syukur, tak harus pergi jauh untuk kudapatkan keindahan ini. Karena aku lahir di sini. Tumbuh besar di bumi ini.

Perahu merapat di dermaga hotel Tiara bunga. Semua mengemasi bawaannya masing masing lalu turun dari perahu. Tapi kami tidak akan menginap di hotel. Kami berjalan beriringan menyusuri jogging track menuju Villa Telukbunga. Di sanalah malam perpisahan kelasku akan diadakan.

"Wita, kamu melamun saja dari tadi"
Aku tersentak. Alex yang tiba tiba bertanya dan menjajari langkahku membuat lamunanku buyar.
"Ah enggak, biasa aja. Lagi males ngomong aja"
"Sini aku bawain tas kamu"
"Nggak usah, Alex. Aku bisa bawa sendiri kok. Terima kasih"
"Kamu udah baca suratku ?"
Aku mengangguk.
"Beri aku waktu untuk menjawabnya, Alex. Aku janji, besok pagi sebelum kita pulang ke Balige suratmu sudah aku jawab"
Alex menatapku tidak sabar.
Aku mengangkat pundak.
Akhirnya dia diam dan membuntutiku ke arah villa.

Vilanya sangat nyaman. Sirkulasi udara dan pencahayaan diatur sedemikian rupa, sehingga kami baru perlu menyalakan lampu setelah malam menjelang.
Tapi kami hanya menyalakan lampu luar.

Kami duduk melingkar di pantai yang berpasir. Satu persatu mengungkapkan  kesan dan pesan setelah tiga tahun bersama sama. Suka dan duka. Tangis dan tawa. Mereka yang punya cerita cinta pasti banyak kenangan. Orang bilang masa SMU adalah masa yang paling indah. Tapi tidak denganku. Hari hariku adalah belajar dan belajar. Berpindah dari sekolah ke perpustakaan. Semua membosankan sampai aku kelas tiga. Sebelum aku ketemu Kak Berlian. Dia cantik, baik dan tentu saja pintar. Dialah guru fisikaku di Nurul Fikri. Pertemuan kami tidak hanya di ruang bimbel. Kak Berlian lalu mengajakku ikut  Kajian Jumat di Masjid Hadhaanah dekat pasar Balige. Dan kamipun menjadi sahabat layaknya kakak adik.

Kak Berlian membuatku berubah dalam banyak hal. Membuka pikiranku yang selama ini tertutup dan hanya memikirkan diriku. Dialah yang menyadarkanku akan makna hidup. Dari mana aku berasal, untuk apa aku di dunia ini, dan akan kemana kelak setelah mati.
"Kak, kenapa kak Berlian pakai kerudung ? Kakak cantik, rambut kakak bagus dan panjang. Kulit kakak juga putih. Nggak ada yang bikin malu kan ?" tanyaku polos.
Saat itu kami tengah duduk duduk di pelataran TB Silalahi Center.
Kak Berlian mengeluarkan permen. Satu permen dia buka dan dia jatuhkan isinya ke tanah. Satu lagi tetap dia pegang. Kemudian diambilnya permen yang dijatuhkan. Sementara aku menanti jawaban.
"Wita, kalau kakak tawarkan satu dari dua permen ini padamu, kamu pilih yang mana ?"
"Pilih yang utuh, Kak. Kan yang satu sudah terbuka dan kotor"
"Begitulah Islam melindungi kaum muslimah dengan pakaian yang menutup aurat ini. Agar terjaga dari pandangan kotor laki laki nakal. Dan juga tidak menjadi fitnah bagi laki laki yang berusaha menjaga pandangannya"
Aku cuma melongo. Tapi batinku mengiyakan setuju.

"Dor ! kamu melamun lagi" Alex kembali mengagetkanku.
"Semua sudah masuk villa, kenapa kamu masih di sini, Wita ?" Alex duduk selonjoran di pasir pantai di sebelahku.
"Aku ingin memuaskan diri memandang Toba dan Samosir. Entah kapan aku bisa pulang lagi. Bandung - Balige tidak murah, Alex"
"Itulah, Wit. Karena aku nggak tahu kapan kamu pulang, makanya aku tak sabar menunggu jawabanmu"
"Alex, maafkan aku. Emm.. aku .. aku tak bisa menerima tawaranmu"
"Kenapa ? Apakah karena ada yang mendahuluiku ?"
"Tidak, bukan. Bukan karena siapapun."
"Kamu meragukanku ?"
"Tidak, Alex. Aku tidak pernah meragukan kesungguhanmu. Maafkan aku"
"Jadi kenapa ?"
"Karena aku belum siap untuk menjalin hubungan dan terikat dengan seseorang, aku nggak mau pacaran Alex. Aku punya cita-cita, dan aku akan mengejar cita-citaku terlebih dahulu. "
"Tanpa cinta ?"
"Tanpa cinta yang tidak direstui-Nya. Aku ingin kita tetap bersahabat saja. Seperti awalnya. Kau bisa jatuh cinta dan menikahi siapapun. Tak harus menungguku kembali. Iya kalau aku kembali." Aku tertawa getir, berharap suasana mencair.
"Baiklah Wita. Bila itu membahagiakanmu"
Aku mengangguk.
"Terima kasih Alex. Yuk kita kembali ke villa. Ntar di sangka temen temen kita ngapain lagi."

Alex menatapku sejenak di pintu. Aku pura pura tidak tahu dan langsung masuk kamarku.
Kucari cari tas punggungku diantara sekian tas milik teman teman yang sebagian sudah tidur. Kurogohkan tangan ke dalam. Aku ambil sebuah bingkisan yang telah lama aku terima.

Wita, bingkisan ini hanya boleh kamu buka setelah kamu lulus SMU
Sampai jumpa di ITB

Itu tulisan tangan kak Berlian. Sampai jumpa di ITB adalah semacam doa darinya. Dan pembangkit semangat. Kala itu aku sedang dalam proses bidik misi.
Kini aku sudah lulus. Kubuka bingkisan itu. Ternyata isinya adalah selembar kerudung merah.Aku akan memakainya besok dan seterusnya.

*foto diculik dari sini

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja

Sungai Musi & Jembatan Ampera, Palembang

Pernahkah kau mencinta dengan sangat ? Pernahkah kau merindu dengan sangat ? Jika jawabanmu iya, maka bersiaplah kau akan terluka dengan sangat. Kau akan terpuruk dengan sangat pula.

Cinta memang sesuatu yang membingungkan. Dia adalah sumber bahagia dan luka sekaligus, menurutku. Kalian boleh setuju boleh tidak. Karena idealnya cinta itu membahagiakan. Mengembangkan. Memberi kesempatan. Seperti cinta seorang Ibu yang memelihara anaknya sejak dalam kandungan hingga ia dewasa. Bahkan hingga anaknya mempunyai anak pula.

Tapi aku tak pernah menemui cinta yang seperti itu. Aku ragu. Apakah aku akan bertemu. Sejauh aku melangkah, tak ada sedikitpun tanda tanda.
Cinta telah membawaku melayang jauh. Melayang bukan dalam arti khayalan saja. Tetapi melayang yang sesungguhnya.

"Ikutlah Ning.. percayalah. Cinta kakak tidak akan tergoyahkan. Kakak akan yakinkan Ayah dan Ibu. Kalau beliau berdua melihatmu, pastilah mereka juga jatuh cinta padamu"

Cintalah yang membawaku terbang dari tanah Jawa ke bumi Sriwijaya ini. Meninggalkan bapak dan simbok di kampung. Bukannya mereka tak merestui hubunganku dengan Kak Amin. Tapi kemiskinanlah yang mengajari kami agar tak banyak berharap. Mengajari kami agar tak terlalu tinggi menggantung cita, bila jatuh akan sangat sakit rasanya.

Nyatanya, cinta telah membawaku pergi. Cinta telah membuatku berani. Cinta telah berlari dan memaksaku mengejarnya. Meski akhirnya cinta itu hanya meninggalkan luka. Menyisakan aku yang terlunta lunta di sini. Di sudut jembatan Ampera yang berdiri kokoh.

"Amin, Ayah  ndak setuju kamu kawin dengan perempuan Jawa itu !"

Air mataku meleleh. Suara itu terdengar keras dan pedas. Rasanya masih sangat menyakitkan. Meski sudah bertahun terlewatkan. Aku akan tetap di sini. Aku tak akan meninggalkan kota ini. Aku tak bisa beranjak dari sini.

"Ning, kakak akan membelamu di hadapan Ayah. Tekad kakak sudah bulat. Kita akan segera menikah setelah lebaran"

Aku tersenyum. Indah sekali kata katak kak Amin. Kala itu hari menjelang senja. Kami berjalan bersisian. Langit berwarna jingga. Berpadu dengan warna warni lampu led di sepanjang jembatan.

"Tidak Kak. Menurutlah kata Ayah dan Ibu. Kita tidak mungkin menikah tanpa restu. Bukankah cinta tak harus saling memiliki ?"
Aku menangis lagi.  Perih rasanya di hati.


"Kakak akan mencintaimu sampai mati. Tidak ada yang dapat memaksa kita berpisah. Meskipun itu Ayah. Hanya maut yang akan memisahkan kita, Ning"
Aku tersenyum lagi. Tanganku mengepal erat bagai mengenggam tangan kak Amin kala itu.

Kami berdua masih berdiri di sisi jembatan hingga larut malam. Tak bosan memandang riak air dan ketek yang sesekali melintas. Juga restoran apung yang terdapat di sisi sisi Musi. BKB tampak di kejauhan. Juga Gedong Ledeng yang kini menjadi kantor walikota. Indah. Semua indah. Bersama kak Amin semua indah.

Malam itu juga semua berubah. Motor yang kami tumpangi diseruduk truk dari belakang. Kak Amin berpulang membawa cintanya. Meninggalkanku sendiri di kota ini hanya tinggal sebelah kaki.

Ah... Bumi Sriwijaya. Ah, Palembang. Jembatan Ampera. Berulang setiap senja. Langit jingga jatuh di rambutku yang makin  kelabu. Bercampur antara hitam dan putih uban.
Aku tersenyum di sini. Aku menangis di sini. Di sisi jembatan Ampera. Entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti tak kulihat senja lagi.

Serombongan anak anak melintas di dekatku. Sebentar mereka mengawasi. Kemudian berlari menghindar.

"Ada wong gilo, ada wong gilo"


Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan


bib bib
Telepon genggamku mengeluarkan suara pelan.
Segera kusambar, karena aku sudah menunggunya sejak tadi.
"Ya  Anto, gimana ? kamu udah berubah pikiran ?" sergahku to the point.
"Nggak Tik, maaf, besok aku nggak bisa datang"
"Jadi udah mantap nih, gak bakal datang ? Ya, terserah kamu aja. Aku nggak bisa maksa."
"Jangan ngambek gitu dong, Tik"
"Siapa yang ngambek ? Biasa aja kali"
"Nada suaramu Nek.. kita bukan sehari dua kenal"
"Ya udin lah Kek. Terserah kamu. Asal kamu inget aja. Kita bikin janji ini duluan sebelum kamu janji sama Nina"
"Maaf ya Tik. Bapak nugasin aku nemenin Nina keliling Belitong besok"
"Iya. Kamu nggak perlu ngulang apa yang udah kamu jelasin lewat SMS. Emangnya aku nggak tahu siapa Nina"
"Jangan bawa bawa masa lalu dong.."
"Ah sudahlah. Yang kecewa bukan cuma aku. Teman teman juga bakal kecewa. Acara ini sudah kita rencanakan sejak lama. Kita sudah investasi buat survey dan mempersiapkan segalanya. Nggak lucu aja, acaranya ada kok korlapnya nggak ada. Kamu punya waktu semalam Anto, untuk mengambil keputusan yang lebih bijak. bye Anto !" kututup telepon. Aku tak peduli lagi dia miskol berapa kali.

Ah, pulau Lengkuas sudah terbayang di depan mataku. Meski kecil, pulau itu menyimpan sejuta keindahan. Pasir putih, air laut nan jernih, pantai nan landai, makin indah dengan batu batu granit yang bertebaran di sekelilingnya. Dan hobbyku duduk mematung di salah satunya sambil memandang laut lepas.

Mercusuar buatan Belanda yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, menjadi saksi berapa banyak wisatawan yang sudah berkunjung ke sana.Terlebih lagi setelah Belitong menjadi terkenal karena Laskar Pelangi. Maka bertambah lagi wisatawan yang datang ke pulau Lengkuas.

Sayangnya, banyak wisatawan yang hanya datang untuk menyaksikan keindahan. Mereka tidak menyadari bahwa kedatangan mereka membawa tugas baru untuk pemerintah daerah. Air bersih dan sampah. Air bersih sangat terbatas di pulau Lengkuas karena harus didatangkan dari Tanjung Pandan. Tempat pembuangan sampah tidak tersedia, karena pulau itu sangatlah kecil, paling sekitar satu hektar. Sampah sampah plastik banyak berserakan dan ditinggalkan begitu saja.

Nah, besok itu rencananya aku dan teman teman dari Green Teen mau ngadain acara "pungut sampah" di pulau Lengkuas. Dan Anto koordinator lapangannya. Wajar kan, kalau aku sewot pas dia bilang nggak bakal ikut. Udah gitu, alasannya nganterin Nina. Sepupunya sekaligus mantan pacarnya. Huh !

Esoknya.
Kami berkumpul di tempat penyeberangan. Jujur aku berharap Anto datang. Meski aku sanggup menghandle tugasnya, tapi aku menjadi enggan karena alasan ketidakhadirannya itu.
"Gimana Tik ? Apakah kita akan menunggu Anto ? Pak Ramli koordinator perahu udah nanyain kapan mau nyebrang" Rudi koordinator transportasi bertanya.
Aku berpikir sejenak. Huh, kalau saja ada Anto....
"Kalau semua anggota sudah lengkap, kita berangkat aja sekarang" putusku.

"Teman teman, kita berangkat sekarang. Semua naik perahu masing masing. Siapkan kantong kantong sampah kalian. Bahkan kalau terapung dan dapat diraih dengan aman, kalian pun bisa memungutnya. Ayo siap " Rudi memberi aba aba setengah berteriak.

Perahu berjalan pelan. Aku menatap pulau Lengkuas di kejauhan. Pagi kuning keemasan di langitnya. Sayang di langit hatiku sedikit mendung. Ada sedikit desir tak enak membayangkan Anto keliling Belitong dengan Nina. Hmm.. perasaan apa ini. Aku memercik mercik air laut untuk mengusir bayangan Anto dan Nina sekaligus. Aku memercik air lebih keras. Kali aja bisa mengusir Nina kembali ke Jakarta.

Tiba tiba ..
"Tika...... Pak Ramli.... tunggu .... aku ikut kalian..." Aku menoleh ke belakang. Senyumku segera mengembang.
"Akhirnya........." serempak semua anggota Green Teen berteriak gembira.

Note : 500 kata kali ada yah

Selasa, 12 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau

Perempatan jalan Sukarno Hatta suatu siang.
Jam Gadang nampak gagah di ujung sana. Bukit Singgalang yang berpayung awan, menjadi latar yang sempurna.
Cuaca cerah, bahkan cukup panas menurutku.  Sejuknya udara kota ini tak sanggup mendinginkan kepalaku yang sangat panas.
Tiba tiba saja lampu lalu lintas menyala merah, seolah marah. Tak rela aku melintas begitu saja di dekatnya dengan kecepatan 80 km/jam.
Aku tak peduli. Siapa juga yang peduli. Kepalaku panas. Panas sekali.
120 detik. Terlalu lama. Sangat lama untuk membaca pesan pendek yang datang bertubi tubi sepagian ini.
"Kak, adik dapat surat dari sekolah, katanya SPP harus lunas sebelum penerimaan rapot" dari  Clara adikku.
Sejak papa meninggal akhir tahun lalu, biaya sekolah Clara aku yang menanggung. Dan, ah,  aku belum membayarnya sepeserpun di semester dua ini.
"Assalamu'alaikum Pak Abdul. Maaf,  Ini Siti . Bapak barusan di cari pak Budi dari bagian keuangan. Katanya Bapak ada janji dengan beliau" dari Siti, anak magang di ruanganku. Oh. syukurlah pak Budi sopan sekali. Tidak membeberkan tunggakan utangku yang memasuki bulan kedua.
"Pelanggan Yth, mohon diselesaikan tagihan kartu kredit Anda agar tidak masuk black list Bank Indonesia. Abaikan pesan ini bila Anda telah melakukan pembayaran"
Sama saja. Basa basi menagih utang.
"Papa cepat pulang, dede bayi sepertinya  sudah mau melihat dunia luar. Yayang sudah tidak kuat menahan sakit" ini pesan pendek istriku inilah  yang membuatku kebut kebutan di siang bolong ini.
Terik matahari kian memanggang kepala. Masih 30 detik lagi. Terlalu lama. Ingin rasanya kuinjak pedal gigi dan kutarik gas.


siuuuuuuuuuuuutttt ................... brak.  Suara sirine mobil polisi dan ambulan bersahut sahutan.

Harian Singgalang, esok harinya
"Seorang Pengendara Sepeda Motor Tewas Menabrak Truk"

Senin, 23 April 2012

Dua Perempuan Satu Perasaan

"Mamah mengerti perasaanmu, Neng" Suara Mamah bergetar pelan.
"Tapi Mah, Aa nggak pernah berterima kasih sama Neng. Apapun usaha yang Neng lakukan sepertinya tak berarti sedikitpun di mata Aa. Neng sudah  berusaha melakukan semua yang Aa suka. Neng belajar memasak makanan kesukaan Aa. Aa mencicipi pun tidak. 
Neng juga berusaha bercanda canda dengan Aa, selalu menampakkan senyum dan wajah cerah Neng. Meski dalam hati Neng sedang sedih atau kecewa. Ternyata itupun belum membahagiakan Aa. Neng merasa tak berarti, Mah. Neng putus asa, Mah. Neng merasa sudah tidak kuat lagi melayani Aa Mah.." kataku sambil  sesenggukan

"Bersabarlah Neng. Batu pun kalau kena tetesan air, akhirnya akan berlubang. Kalau kau sabar menghadapi perangainya yang seperti itu, Mamah yakin dia akan berubah nanti. Ikhlaskan semua karena Gusti nu Agung. Berdoalah selalu agar Neng dilimpahi kesabaran. Jangan lupa bersyukur, Aa teh orangnya bertanggung jawab pada keluarga, nggak macem macem diluar sana." Mamah mengusap usap punggungku.
"Neng  nggak bisa seperti Mamah, yang diam dan pasrah akan perlakuan Papah" kataku sambil menatap mata Mamah.

Mamah terdiam sejenak. Matanya menerawang.

"Mamah dulu selalu berdoa, mohon pada Yang Kuasa, agar Mamah diambil dulu, mendahului Papah. Biar Papah merasakan, bahwa tidak adanya Mamah, akan membuat dia merasa kehilangan. Tidak ada yang melayani, tidak ada yang menyiapkan makanan, tidak ada yang mendengarkan, bahkan omelan omelan Papah. Tapi ternyata Gusti nu Agung  berkehendak lain. Papah diambil duluan. Dan Mamah pun kini merasa kehilangan. Ternyata banyak sekali  sisi baik Papah yang Mamah nggak lihat. Mamah hanya menuntut dan menuntut. Sehingga melupakan yang ada." Kali ini Mamah yang berurai air mata.

*242 kata

Rabu, 28 Maret 2012

Perempuan dan Lelaki Khayalan

"Mengapa kau datang ?" tanya si perempuan
"Karena kau undang." jawab lelaki
"Aku tidak mengundangmu !" seru si perempuan
"Air matamu memanggilku " lelaki menjawab tenang
Perempuan itu tak dapat mengelak. Disusutnya sisa butir bening di sudut mata.
"Kau selalu menemukanku. Kau selalu datang saat aku butuhkan. Hadirmu adalah penghiburan bagiku...." perempuan berkata, seperti pada dirinya sendiri
"Kau adalah bagian dari diriku yang hilang, kau adalah bagian dari sejarah hidupku yang kembali lagi ..."  lelaki melanjutkan, mengerti. Seperti sebuah rangkaian mantra dua kalimat itu bersambungan
"Entahlah, setiap air mataku keluar, yang kuingat hanyalah dirimu" si perempuan tak mengerti
Bagi si perempuan, lelaki itu adalah teman yang tak tergantikan, teman yang selalu mengerti, bahkan tanpa perlu berkata kata sedikitpun. Cukuplah dia menangis, dan lelaki itu datang menenangkan. Maka seketika hilanglah beban di dada.
Bagi si lelaki, perempuan itu adalah tempat dia merasa ada, berarti dan dibutuhkan. Cukuplah dia datang ketika perempuan itu menangis, meski tanpa genggaman tangan, tanpa rengkuhan, Semua beban kehidupan bagai terbagikan
"Itulah sebabnya aku selalu ada untukmu" lelaki memberi jawaban, sekaligus alasan
"Kini pergilah. Cukup bagiku sekejap hadirmu"
"Aku akan pergi, jangan pernah ragukan keberadaanku untukmu"
"Tak kan pernah " Sahut perempuan.
Iya tahu, meski tak ada di sisinya, lelaki itu akan datang, kapanpun. Dimanapun, lelaki itu dapat menemukannya.
Seperti sore ini, di atas jembatan penyeberangan. Saat dia berdiri mematung, menatap hiruk pikuk jalanan. Menjelang senja. Karena laki laki itu, hanyalah teman khayalannya.

*235 kata

Minggu, 18 Maret 2012

Senja yang Indah

"Sudah sampai, Ma... " Dina membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Aku turun dari mobil, Dina mencari tempat parkir yang cocok.
Lapangan parkir sudah hampir penuh.  Tampak di kejauhan, para tamu sudah hampir memenuhi tenda. Sebagian bergerombol mengobrol, tertawa, mungkin mengenang masa muda. 
Aku datang ke reuni ini atas ajakan Dina, putri semata wayangku. Bukan, bukan diajak, tepatnya dipaksa. Karena ini reuni akbar. Alumni 1980-2010. Bayangkan. Lintas generasi. Bahkan Dina pun sudah lulus dari sekolah yang sama denganku.
"Ayo Ma, kita ke sana" Dina menggamit lenganku.
Aku menurut saja dituntun. Pikiranku setengah iya setengah tidak. Andai saja bukan karena Tina yang sengaja datang dari Amerika, dan Lia yang sengaja datang dari Balikpapan, mungkin aku tidak akan memaksakan diri ke sini. Ke pantai ini. Untuk reuni..
Entahlah, kenapa panitia memilih pantai Teluk Penyu ini untuk lokasi reuni. Sore hari pula. Mungkin karena sekolah kami dekat dengan pantai, dan lokasi ini menjadi lokasi favorit untuk jalan jalan sore.Menanti senja tenggelam di balik Nusakambangan.
Sesekali bahkan guru olah raga pun sengaja mengadakan lomba lari di sini. Maka aku yakin, hampir semua anak sekolahku punya kenangan di sini.
Dina mengajakku berjalan menyusuri pantai, melewati tenda dan panggung. Di balik panggung, berjejer bungalow sepanjang pantai. Tempatnya agak tersisih. Dulu semasa aku sering melewatkan waktu di sini, belum ada bangunan ini. 
"Asyik ya Ma.. duduk di sini. Coba ada cafe di dekat sini, enak kali  ya minum segelas es kelapa muda" kata Dina.
Aku tergagap. Es kelapa muda, kesukaanku dan kesukaannya. Dia. Entah di mana.
Mataku menatap laut selatan yang demikian luas. Jantungku berdegup tak karuan,hanya karena mengingatnya.
"Mama... jangan melamun saja. Diajak ngobrol kok malah melamun" Aku tersenyum dan menoleh.
"Iya.. enggak lagi deh... Mama seneng aja melihat laut" sahutku berdalih.
"Ok deh Mam, Mama nikmati aja lautnya dulu ya.. aku pesan es kelapa muda dulu" kata Dina.
"Hm "! jawabku sambil kembali menatap laut.

Sebentar kemudian, terdengar langkah mendekat dan dua gelas diletakkan di meja bungalow. Aih, cepat sekali Dina membeli es.
"Cepat amat Din ?"  tanyaku, lagi lagi tanpa menoleh.
"Ini aku, Dini !" Hah ? Aku terkejut. Hanya seorang yang memanggilku Dini dari namaku Nurhandini. Semua teman temanku memanggil Nur. Kecuali dia, dia yang lenyap bagai di telan bumi.
"Dini, aku datang hendak minta maaf" katanya
"Minta maaf atas apa ?" tanyaku datar, mengatasi debar
"Din, aku minta maaf atas semua yang kulakukan kepadamu dan kepada Dina ." katanya lagi
"Kau tak perlu minta maaf padaku. Waktu itu aku melakukannya tanpa terpaksa. Dan kau tak perlu minta maaf pada Dina. Dia tidak mengenalmu." Ujarku, menegarkan diri.
"Dini... bukalah hatimu. Aku menyesali seluruh kesalahanku di masa lalu. Aku pergi saat itu, karena aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan. Aku membiarkanmu menanggung sendiri akibat perbuatan kita, aku membiarkanmu sendiri menyembunyikan kehamilanmu, aku membiarkanmu membesarkan dan mendidik Dina. Aku membiarkanmu ...  Aku minta maaf untuk itu semua." Suara Naga semakin serak.
"Aku pergi, tapi dirimu selalu membayangi. Aku pergi, tapi aku hanya tahu satu tempat kembali. Engkau ! Dini... maafkan aku" Kini pria setengah baya itu tergugu di belakangku. Aku tak sanggup untuk memalingkan muka dan menatapnya. Terlalu dalam. Terlalu pedih. Terlalu cinta. Selalu cinta. 
Dan aku tahu, tanpa dia minta pun aku sudah memberinya maaf sejak 30 tahun lalu di detik dia pergi dan tak dapat dihubungi. Itulah sebabnya aku menjaga Dina. Membesarkan Dina, sepenuh cinta

"Aku sudah bertemu Dina.  ketika sama sama mendaftar reuni. Melihatnya, seperti melihatmu 30 tahun lalu. Hanya bedanya, Dina berbalut jilbab rapi.Tapi aku dapat mengenali. Mata, hidung, senyum bahkan langkah kalian seperti tak ada beda. Kami berkenalan. Dan tahulah aku, bahwa dia adalah anak kita. " 
"Dina anakku, dia tidak pernah mempunyai ayah " kataku tetap bertahan.
Terdengar laki laki itu menarik nafas dalam.
" Aku mengerti Din, dia tak mempunyai ayah. Bahkan dia tak perlu ayah. Tapi, maafkan aku Dini, ijinkan aku menebus kesalahanku, dan menghabiskan sisa umurku bersamamu." bujuknya lagi.Kini suaranya semakin tenang. Agaknya dia sudah semakin siap dengan apapun jawabanku.
"Dari cerita Dina, akupun tahu, bahwa kau tak pernah membuka pintu hatimu untuk orang lain. Kau menutup diri. Dini, ijinkan aku mengetuk hatimu sekali lagi.... Boleh ya Din ?"
Aku terdiam. Kepalaku tertunduk. Sekian waktu berlalu dalam diam. Hanya debur ombak yang semakin besar. Riuh rendah suara acara reuni seperti tak terdengar olehku. Sinar mentari semakin meredup. Sebentar lagi senja senja menjelang. Tenggelam di balik Nusakambangan.
"Bagaimana, Dini ?" kini laki laki itu disampingku. Menatap.
Aku memberanikan diri mengangkat wajah, dan melihatnya. Mata itu, mata Naga. Mata yang membuatku terpana. 
Perlahan aku mengangguk. Dia tahu, bahwa aku mencintainya. Terlalu dalam. Terlalu cinta. Selalu cinta. 

*759 kata. Panjang amat yaks

Senin, 06 Februari 2012

Suatu pagi di bawah rumpun bambu

"Ada apa ?" tanyamu, lembut
"Aku kangen, aku ingin bertemu"
"Besok kita bisa bertemu" jawabmu, tenang
"Aku ingin selalu bersamamu, berbagi, bercerita apa saja, walau hanya melihat diammu sekalipun "
"Kamu bisa bercerita apa saja, kapan saja, aku siap mendengarkanmu" katamu, menenangkanku.
Air mataku berjatuhan tiba tiba, aku sedih, karena aku tahu, apa yang dikatakannya tak semuanya nyata.
"Kamu bisa menghubungiku setiap waktu" lanjutmu. "De, kamu kenapa ? kok diam saja ? kamu menangis ?"
"Mas nggak mengerti perasaanku !" rajukku
Terdengar suara menarik nafas. Sedang kau di seberang sana sejenak terdiam.
"Kamu ingin Mas mengerti apa ?" tanyamu kemudian
"Aku tidak pernah merasakah hal seperti ini, sebelumnya. Aku tidak pernah merasanya senyaman ini berbagi perasaanku, khayalku, keinginanku, kepada orang selainmu, Mas"
suaraku serak, air mataku menderas.
"Kapan terakhir kamu merasakan hal seperti itu ?" tanyamu lagi
"Enggak pernah ! aku nggak pernah tahu bahwa aku bisa begini di hadapanmu"
"Apakah rasa itu hanya padaku ?" sambungmu, ragu
"Aku nggak tahu... aku nggak tahu rasa apa ini ? Aku mengharapmu selalu ada untukku.Aku merasakah bahwa Mas adalah bagian dari diriku yang hilang, entah kapan, suatu waktu. Dan kini aku menemukannya kembali. Aku berani menjadi diriku sendiri di hadapanmu" aku makin sesenggukan. Tapi ada kelegaan. Semua sudah kusampaikan.
"De, mungkin kamu keliru membaca rasamu. Mungkin juga Mas yang keliru. Mungkin waktu yang akan menjawab dan menjelaskan semua ini. Sekarang kamu sudah lebih tenang kan ?"
Aku mengangguk. Meski aku tahu kamu tak dapat melihatku.
"Iya Mas, terima kasih sudah mendengarku. Selalu" aku menjawab. Kuhapus sisa sisa lelehan air mata. Kuhirup udara banyak banyak. Aroma rumpun bambu, bercampur dengan tanah basah, menenangkan sukmaku.
"OK, kembalilah ke rumah.Ini masih pagi, mungkin anak anakmu butuh sarapan."
"Baik Mas !" aku tutup telepon genggamku, dan bersegera lari pulang

Kamis, 26 Januari 2012

Mimpi

Wajah itu tak lagi asing bagiku. Meski dia kini tidak menggunakan nama lengkapnya. Hanya sepotong nama panggilan. Nama yang tenar dan menjual. Wajah milik seorang laki laki yang tak pernah pergi dari benakku.Meski jarak dan waktu telah memisahkan. Meski keadaan telah memaksakan.
Lelaki itu kini berdiri di sana. Di hadapanku. Di atas panggung. Menyampaikan motivasi. Berbagi semangat. Kadang dia berjalan berkeliling, menyapa satu per satu peserta, dan bertanya apa pendapat mereka.
Hatiku berdebar tak menentu. Mungkinkah dia masih mengenaliku ? 15 tahun bukan waktu yang pendek. Untuk melupakan sebagian sejarah hidupku. (dan hidupnya kah ?) Untuk menghilangkan segala ingatan, tentang pertemuan, perpisahan, canda, air mata.
Ah, dia sudah banyak berubah. Dia sudah menggenggam hampir semua impiannya yang dulu pernah dibaginya denganku. Ah entah, mungkin dia kini juga telah membangun mimpi mimpi baru. Sedang aku masih begini begini saja.
Dia berjalan ke arahku. Kutenangkan hatiku. Oh Tuhan, kini dia benar benar ada di hadapanku. Debarku makin tak terkendali. Terasa keringat dingin menjalari tengkuk. Kugenggam tanganku sendiri menahan grogi.
Dia membungkuk. Dekat
Aku menunduk. Dagu dan dadaku lekat.
"Apa kabar ?" bisiknya
"Bbbaik... " jawabku gemetar. "Mamah masih di rumah Kalibaru?" (pertanyaan bodoh)
"Mamah sudah tiada, Kalibaru kini sudah berbeda"
Aku terhenyak !! Bukan karena kata-katanya. Tapi karena ini mimpi belaka. Meski tadi itu tampak nyata dan benar adanya.