Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Selasa, 31 Desember 2013

[BeraniCerita #42] : Aldo



Senja belumlah sempurna, tapi suasana taman sudah terlihat temaram. Mungkin malah dianggap menyeramkan.Kerindangan pepohonan menghalangi matahari sore menyinari rerumputan.

Aldo bergegas masuk taman. Langkahnya pasti menuju sudut utara. Tempat favoritnya. Dia meminta Asti menunggunya di sana. Dua jam lalu. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Jangan - jangan Asti marah. Kalaupun marah akan dia terima. Ini gara-gara dia lupa membawa telepon genggamnya. Sejenak terlintas, bagaimana ya, marahnya gadis cantik seperti Asti ? Apakah dia akan tetap terlihat cantik ? Atau berubah menjadi seperti nenek lampir ? hiii...

Betapa leganya dia mendapati Asti masih di sana. Asti duduk membelakangi arah datangnya. Pasti Asti marah. Aldo segera mengambil tempat di belakang Asti. Sejenak diam mengatur nafasnya yang tersengal.
"Yang... maafkan Abang.  Tadi ada kebakaran, jadi macet di mana-mana.  dan hape Abang tertinggal di kubikel"
Aldo menunggu reaksi kekasihnya.
"Ayaang... iya.. Abang salah. Abang ceroboh ninggalin hape. Tapi... Abang pikir, daripada balik lagi dan akan lebih lama, jadi Abang maju terus. Nggak tahunya, tetap lama juga. Makasih ya.. kamu masih nungguin Abang di sini."
Aldo menurunkan intonasi dan kecepatan bicaranya.
"Udahan ya, marahnya. Udah mulai gelap nih... jadi serem. Hiii... kata orang, di taman ini ada hantu noni Belanda. yuk kita pergi dari sini yuuk... kita ke resto kesukaanmu aja"
Aldo masih bersabar ketika Asti tidak juga meresponnya. Ia memaklumi kekesalan Asti selama dua jam menunggu.
"Yang... Eh, cat rambut kamu baru ya... blonde begini lebih cocok dengan kulitmu. Ayang kelihatan lebih cantik"
Aldo mengulurkan tangannya membelai rambut Asti. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, kulitnya merinding, dan jantungnya berdegup lebih kencang.
"Yang... err... punggungmu kok ......bo...long...

Aldo terjatuh dari bangku. Pingsan


http://www.beranicerita.com/2013/12/berani-cerita-42.html

Minggu, 10 November 2013

[Berani Cerita #35] Sial

"Huh ! Sekali kena merah, teruuus saja ketemu merah " Gadis berambut cepak dan bersepatu converse itu menggerutu dan memukul setir mobilnya.
Laki-laki di sebelahnya mendesah pelan.
"Kalau kamu enggak ninggalin kartu ATM sembarangan, kita nggak bakal terjebak macet gini"
"Iya... maaf. Sekali lagi, maaf Kak Nia cantik... Adek kan sudah minta maaf berkali-kali. Lagian semalem kan kita buru-buru, takut Kak Nia ketinggalan travel"
"Maaf... maaf... Kakak maafin juga nggak bakalan balik tuh kartu. Tetap saja kita harus ketemu customer service bank itu."
Teeeet... suara klakson antrian mobil di lampu merah sejenak menginterupsi keributan kecil itu.
Si lelaki menghela nafas.
"Lagian kenapa Kak Nia nggak ngambil uang sendiri semalam ?" si lelaki angkat bicara
"Eh kamu, kamu yang ninggalin ATM kakak, masih nyalahin kakak juga" si perempuan mengomel sembari menyalip angkot di depannya. Sopir angkot yang kaget reflek menekan klakson.
"Hati-hati, kak Niaaa..."
"Biarin, nggak usah ngalihin pembicaraan. Gini-gini kakak lulus ujian SIM nggak pakai nembak" si perempuan melirik angkot lewat spion tengah, sembari melemparkan poninya.
"Iya, tapi kan keselamatan lebih utama".
"Keselamatan duitku bukan berarti disepelekan"
"Iya, uang Kak Nia kan aman. Rekening sudah diblokir kan"
"Iyaaa... tapi kan aku jadi harus repot. Ngurus pemblokiran, terus sebentar lagi aku juga harus mengurus buka blokirnya"
"Ya memang begitu prosedurnya. Kita ikutin aja. Kak Nia jangan marah-marah melulu atuh, da cantik"
Si perempuan mendengus. Dua telapak tangannya mengetuk-ketuk  setir, berharap kemacetan segera terurai.
"Jangan marah, jangan marah. Siapa juga yang marah. Aku cuma kesal, tauk ? Kapan sampainya kalau jalanan kayak parkiran gini."
"Ya sudah, ngomel juga kan nggak bikin jalan. Mending Kakak nyanyi, suara Kakak kan bagus" si lelaki mencoba mengubah suasana.
"Nggaaak...." suara si perempuan meledak.

Setelah kemacetan yang panjang, sampailah mereka di bank yang dituju.
Kakak beradik itu sedanh bergegas menerobos pintu lobby ketika satpam bank mencegat.
"Mohon maaf Pak, Bu, kami sudah tutup"
"Apa-apaan ini. Sekarang baru jam dua. Memangnya kami bego apa ?"
Satpam tersenyum simpatik.
"Kebetulan hari ini kami akan melakukan gladi resik evakuasi bencana di gedung baru kami ini. Itulah sebabnya kami tutup lebih awal. Silakan Bapak dan Ibu baca pengumumannya yang sudah kami tempel sejak sebulan lalu" ibu jarinya mengarah ke papan pengumuman.

Si perempuan menghentakkan kakinya ke lantai. Giginya gemeretuk. Tangannya mengepal menahan emosi.
"Huh !"
Satpam mengangguk penuh simpati.

Berani Cerita #35

Selasa, 08 Oktober 2013

[Berani Cerita #30] Bapak

Hari mulai temaram. Sebentar lagi seisi bumi berselimut malam. Di sebuah bangku kayu panjang aku duduk. Sendiri. Hanya buku yang bisa memperpanjang nafas kesabaranku dari pagi hingga senja di sini. Ya, aku duduk sendiri, tapi sebenarnya aku tidak sendiri di stasiun ini.

Seorang lelaki tua sedari pagi sibuk mondar-mandir. Mula-mula menyapu peron, lalu ke ruang bekas tempat penjualan tiket bak melayani seseorang. Kemudian masuk ke ruang bekas PPKA yang pintunya sudah entah di mana, dan dia membuat coretan-coretan di sana. Lalu bergegas keluar lagi dan berdiri di ujung rel, lengkap dengan topi, peluit dan tongkat semboyan. Kadang tongkat dengan bulatan merah dia acungkan. Kadang tongkat dengan bulatan hijau dia acungkan, lalu disusul dengan tiupan peluit panjang. Sekali waktu Bapak bergegas ke ujung jauh stasiun, untuk merubah tuas wesel.
Beliau melakukan semua itu sambil menyesuaikan dengan jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta yang tertera di papan lusuh.

"Mas, ayo kita pulang" tiba-tiba suara Rano mengejutkanku. Entah kapan adikku tiba di tempat ini.

"Sebentar, Dik. Kita tunggu Bapak menyelesaikan 'tugas' beliau."

Adzan maghrib pun berkumandang. Bapak melepas topi dan peluit di pundaknya, kemudian menyimpannya di ruang bekas PPKA. Tanpa perubahan ekspresi, Bapak berjalan menjajari aku dan Rano.
Kami bertiga melangkah keluar dari sini, dari stasiun kereta yang sudah tidak beroperasi lagi.

*PPKA : petugas pengatur kereta api
Kalau enggak salah 208 kata.

Mohon maaf tidak dapat me-link banner. Agak kesulitan karena posting pake hape

Rabu, 17 Juli 2013

Melupakanmu

Kamu
Aku
Mestinya menjadi kita. Tetapi sayang, terlalu banyak perbedaan yang menjadi penghalang. Mestinya tidak, kalau kita senantiasa saling dukung di hal yang kita sepakati. Apalah artinya perbedaan. Tidaklah dia ada, kecuali untuk memberikan warna.

Kamu laki-laki.
Aku perempuan.
Mestinya menjadi pasangan. Seperti sepatu kiri dan kanan. Kadang bersisian, kadang berjalan bergantian siapa di depan. Tidak masalah. Karena masing masing meyakini bahwa dia punya peran.

Kamu laki - laki, enggak kece tapi berduit.
Aku perempuan, cantik, tak berduit, pandai memasak, pandai mengurus rumah.
Mestinya kita bisa saling menggenapkan.
Iya kan ? Aku menggenapi kekuranganmu. Kamu menggenapi kekuranganku. Kau nikahi saja aku. Tapi aku tak bisa menuntutmu. Karena kodratku hanya menunggu.
Atau aku harus segera melupakanmu. Karena aku hanya babu ibumu.

Selasa, 16 Juli 2013

Kembali

"Aku akan pergi" kata Raka
"Kemana ? Kakak punya tujuan? Terus sekolah kakak gimana? " Selidik Rayi
"Kemana saja kaki membawaku. Gimana nanti saja. Masa Allah akan membiarkan hamba-Nya kelaparan" Raka menjawab ketus
"Bukan begitu kakak, sekarang ini hatimu sedang dipenuhi kemarahan"
"Ya, aku marah. Aku tersinggung dengan kata-kata Papa. Aku bukan anak kecil lagi yang terus menuruti kata-kata Papa. Aku juga punya pendapat, dan Papa tak pernah menanyakan itu"
"Maksud Papa itu baik, semua yang Papa lakukan demi kebaikan kita. Mengertilah, tugas Papa itu berat.  Papa berusaha menjadi ayah sekaligus ibu sejak Mama meninggal lima tahun lalu"
"Ah, banyak orang yang ditinggal istrinya, tapi enggak galak seperti Papa. Kamu aja anak kesayangannya, jadi nggak pernah kena marah"
Rayi menghela nafas.
"Emosi telah menguasai hati dan pikiran kakak. Kakak tidak dapat berfikir jernih"
"Jaga bicaramu. Jangan sok tahu. Jangan juga sok ngatur seperti Papa. Aku tahu apa yang kulakukan"
"Kalau kakak tahu apa yang kakak lakukan, kenapa ngomong sama aku? Itu sama saja kakak mau minggat tapi pamitan" Rayi ikut tersinggung. Kemudian berlalu meninggalkan Raka sendirian.

Percakapan itu masih jelas terekam dalam benak Raka meski sudah berlalu dua lebaran.
Tepat setelah Rayi selesai berkata-kata, Raka pergi meninggalkan rumah. Tempat pertama yang dituju adalah rumah Om Yance, adik Papa. Sempat Papa membujuk agar Raka pulang. Tidak. Hatinya terlanjur patah arang.
Di rumah Om Yance, Raka tidak sanggup bertahan lama. Om Yance juga sama, suka mengatur seperti Papa.
Akhirnya Raka pergi meninggalkan rumah Om Yance.
Langkah kaki membawanya ke tempat ini. Sebuah cafe baru yang membutuhkan pegawai. Raka meninggalkan rumah tanpa membawa berkas-berkas apapun. Nomor hape pun berganti yang baru agar tak seorangpun dapat menemukan atau menghubunginya.

Di cafe ini, hanya posisi office boy saja yang bisa dilamar Raka. Dia terpaksa  menuruti jam kerja  dan peraturan manajer. Lagi-lagi dia diatur-atur, bahkan disuruh-suruh. Raka menekan egonya dalam-dalam. Lumayan, akhir bulan gajian, ada uang untuk membeli pulsa internetan dan sedikit pegangan. Terkadang rasa rindu membuatnya stalking akun facebook dan twitter adiknya. Rayi biasa saja. Tidak pernah sekalipun menyebut Raka sudah pergi meninggalkan rumah.

Hingga malam ini, sebuah pesan masuk di inbox akun facebook Raka.
"Kakak, pulang secepatnya. Papa kecelakaan dan koma. Setiap tersadar, yang di panggil selalu nama kak Raka. Pulanglah, Kak. Papa minta maaf kalau sudah terlalu keras mendidik kita."

NB: adoooh, cerita meuni geje gini x_x

Sabtu, 13 Juli 2013

Doa si Kecil

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Besar
Besarkan badanku, Tuhan
Aku juga ingin segera tinggi,
Agar aku bisa melamar jadi kuli

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Penyayang
Sayangilah Ibuku Tuhan,
jangan Kau kirimkan lagi penyakit
Nanti uang ibuku tambah sedikit

Tuhan, kata Ibuku Engkau Maha Kaya
Cukupkan rejeki kami hari ini
Meski hanya segelas air dan sepiring nasi
Agar perut kami berdua dapat terisi

Tuhan, itulah doa kecilku
Untukku dan ibuku
Tolong kabulkan
walau mungkin aku tak sopan

Jumat, 12 Juli 2013

Buka Puasa di Rumah

"Kita harus merencanakan ini dengan cermat" Lelaki dengan badan paling besar bicara dengan suara rendah.
"Betul, kalau sampai rencana kita gagal, kita akan menderita lebih lama lagi" Lelaki botak berperawakan tinggi menimpali.
"Ya, tempat ini sudah penuh sesak. Aku yakin, rencana kita ini akan membuat nyaman penghuni" si lelaki yang tampak lebih muda bicara tenang. Tapi seringainya sangat mencurigakan.
"Kalian semua benar." si lelaki berbadan besar kembali bicara.
"Jadi, sesuai rencana kita, kalian bersiap di tempat tempat yang telah kita tentukan. Begitu jam di ruang utama berbunyi sembilan kali, itulah tanda aksi dimulai".

Saman menahan nafas. Dia tidak tahu persis apa yang direncanakan oleh ketiga orang tadi. Tapi dia yakin bahwa itu adalah sesuatu yang akan merubah hidupnya dalam waktu dekat. Saman ingin pulang. Dia rindu masakan istrinya. Dia rindu celoteh anak-anaknya. Apalagi menjelang berbuka. Semuanya sudah duduk mengelilingi meja. Tiba-tiba dadanya berdegup kencang, tak sabar menunggu pukul sembilan.

Teng... teng... teng... teng..teng...teng...teng... teng...teng

"Kebakaran... kebakaran...."
Pintu lembaga permasyarakatan tiba tiba terbuka lebar.
Tak ada waktu untuk memikirkan siapa pelakunya. Dia sudah siap berlari. Terus berlari bersama puluhan lainnya.
Targetnya satu, besok sore dia bisa buka puasa di rumahnya sendiri.

Kamis, 11 Juli 2013

Harapan Ramadani

Suara puji-pujian mengalun di masjid. Sebentar lagi tiba saat berbuka.
"Mamaa.... aku mau buka puasa pakai sop buah, terus sama batagor, terus sama es krim cincau juga. Kenapa Mama malah beliin aku es campur, siomay dan es krim? Aku nggak suka semua ini"
Gubrak... krompyang..
Teriakan  Fadil disambung gaduh  suara piring dan mangkok melamin jatuh ke lantai.
"Astagfirullah.. sayang. Tukang makanan yang kamu pesan masih di kampung. Belum ada yang berjualan. Dan tidak perlu berteriak, karena Mama ada di dekatmu"  Ramadani membujuk lembut.
"Tidak mau ! Salah sendiri mau jadi mamaku. Jadi harus mau ngurusin aku" Celoteh Fadil kembali.
Diam-diam kristal bening menggumpal di sudut matanya. Tangannya sibuk mengepel dan membereskan barang-barang yang dijatuhkan Fadil dari meja. Tidak, Ramadani tidak akan marah. Dia hanya bersedih. Anak sekecil Fadil sudah menghadapi kehidupan yang keras. Kekerasan itulah yang membuat perilakunya seperti itu.
Tekadnya kuat, akan menjadi ibu yang baik untuk Fadil. Dia mencintai Fadil satu paket dengan cintanya terhadap Rahman, ayah Fadil.
"Dasar ibu tiri cengeng, dikit-dikit menangis".  Fadil berlari keluar rumah sambil mencemooh.
"Ya Allah, kataMu doa orang yang berpuasa itu didengar. Kata-Mu, waktu menjelang buka itu mustajab. Duhai Tuhan Yang Maha Lembut, lembutkan hati anakku... "

Rabu, 10 Juli 2013

Pertama Kalinya

"Nah, anak-anak, demikianlah pelajaran hari ini. Suci, Lila, kalian tidak boleh sikut- sikutan begitu. Nanti setiap kalian akan mempraktekkan pelajaran ini. Hanya soal waktu saja. Sekarang kalian boleh pulang. Jangan lupa ya, bantu ibu kalian menyiapkan buka puasa." Ustazah menutup pengajian ba'da ashar.

Anak- anak perempuan usia tanggung itupun berlarian meninggalkan teras mushola. Kecuali Rodiah. Dia berjalan perlahan.
Sesuatu terasa merayap di sela - sela kakinya. Ini bukan ngompol. 
"Rodiah, tunggu!" Panggilan Ustazah menghentikan langkahnya. 
"Sarungmu bernoda, darahkah?"
Rodiah mengangguk lemah.

Usianya 14 kini. Semua teman sekelasnya sudah menjadi perempuan dewasa. Tinggal dia saja yang belum. Dia memang menunggu saat-saat itu. Tapi sungguh, kalau boleh meminta, itu tidak datang di hari pertama Ramadhan.

Senin, 01 Juli 2013

Rahasia Kapten Bhirawa

Memasuki usia pensiun, Kamaratih tetaplah jelita. Setiap dia bicara, suaminya selalu menatap penuh cinta. Terkadang  membuatnya tersipu, meski tatapan itu menjaga debar-debar cintanya hingga kini.
"Mamah ngantor cuma perpisahan. Besok Mamah resmi pensiun."
"Berangkatlah sayang.  Pulangnya  bawa jus wortel ya"
Kamaratih mencium  suaminya.  Bhirawa menatap kabur  istrinya. Sudah lama dia mengandalkan keahlian membaca gerak bibir untuk mendengar. Entah bagaimana  kalau matanya  rabun nanti.



Selasa, 08 Januari 2013

Misteri Di Balik Layar (2-Habis)

foto diculik dari Pak Dhe Cholik

Ringkasan cerita bagian pertama
Pemeran Cakil jatuh bersimbah darah di atas panggung. Inspektur Suzana yang kebetulan menonton pagelaran, menyatakan pemeran Cakil tewas terbunuh


Para nayaga yang diterjang rasa penasaran juga berebut naik ke panggung. Beberapa penonton dari kalangan laki laki mengikuti. Mendadak sontak panggung pun dipenuhi orang.
Inspekstur Suzana yang menyadari keadaan segera mengeluarkan instruksi
"Semua yang tidak berkepentingan silakan turun dari panggung. Seluruh pemain dan petugas pembantu di belakang panggung harus tetap di tempat."

Mendengar suara inspektur cantik yang merdu namun berwibawa itu, satu persatu kerumunan orang orang itu pun meninggalkan panggung. Menyelinap dari balik layar yang masih tetap tertutup. Diantara mereka ada yang berbisik bisik menganalisa kejadian tersebut.
"Wah, pasti mbak Rikmo sengaja membunuh Lik Mudhoiso, lha wong Lik Mudho sekarang sudah akrab sama gadis muda"
"Gadis muda yang mana to ?"
"Itu lho, yang lulusan institut kesenian dari ibu kota itu lho..."
Si lawan bicara hanya manggut manggut menerima analisa tersebut.
"Kapok, Mudhoiso mati di atas panggung, jadi uwong kok egois, mau menangnya sendiri. Kita ini minta kenaikan honor nayaga aja ndak dikasih-kasih. Nanti kalau Mudhoiso diganti sama Pak Sigit, besar kemungkinan nasib kita bakal berubah"  salah satu nayaga malah menyukuri kematian Mudhoiso.

Di atas panggung, Inspektur Suzana menatap seluruh personil Wayang Orang BlogCamp Budhoyo yang saat itu juga, tidak pakai lama, sudah berdiri mengerumuni Mudhoiso. Mereka yang merasa ada permasalahan ataupun perselisihan dengan Mudhoiso langsung menundukkan pandangan, tidak berani menatap mata Inspektur Suzana. Khawatir menjadi tertuduh, apalagi tersangka. Amit amit.

Karena lampu panggung masih settingan suasana perang dan sedikit remang remang, maka Inspektur Suzana memerintahkan agar lampu utama dinyalakan.
Salah seorangpun bergerak menyalakan lampu.

Byaarr...
Panggung terang benderang.
Hoek... hoek... Gubrak. Tiba tiba Mudhoiso bangkit duduk kembali dan muntah di atas panggung. Selesai muntah diapun tergeletak lagi.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...  jeritan keras pun lagi lagi terdengar dari balik layar. Semua yang tersisa di atas panggung menjerit dan melompat mundur. Kecuali Inspektur Suzana. Dialah satu satunya orang yang berani mendekati Mudhoiso. Kalau tadi yang diraba denyut nadi tangan kiri, karena sekarang posisinya lebih dekat ke sisi badan sebelah kanan, maka Inspektur Suzana meraba nadi tangan kanan Mudhoiso.
Terlihat Inspektur Suzana diam dan konsentrasi.
Semua yang menyaksikan adegan itu dicekam ketegangan, menanti apa kejadian berikutnya.

"Kurang ajar. Sontoloyo !" Tiba tiba Inspektur Suzana bangkit seraya memukulkan sampur pemeran cakil itu ke arah muka brewok dengan gigi dan taring nan tajam itu.
"Mudhoiso, tangiyo ! ***cuk, jebul aku kecelik. Ngelmu di mana sampeyan. Sampai sampai aku hampir tertipu begini !" Saking keselnya, inpektur cantik itu terpaksa mengeluarkan kata kata umpatan.
Dengan lemah dan sambil menutup mulutnya karena masih mual, Mudhoiso pun berusaha duduk.  Semua terpaku di tempat masing masing karena masih tegang, hanya Rikmo Sadhepo pemeran panengahing Pendhowo yang berani membantu Mudhoiso duduk.

"Mbak Rikmo, tolong jelaskan asal muasal keributan malam ini. !" suara Inspektur terdengar melembut, meskipun nafasnya masih terlihat kembang kempis menahan kesal.

"Maaf Inpektur, sebelumnya saya minta maaf, saya dan lik Mudhoiso tidak bermaksud menipu Inspektur. Kami tidak menyangka kalau Inspektur bakal menonton wayang orang malam ini.
Sebenarnya, Lik Mudhoiso sedang mendalami teater dan akting. Pengajarnya adalah dek Diana yang baru lulus dari institut kesenian. Menurut dek Diana, hakitkat akting itu adalah meyakinkan, agar semua penonton menganggap kejadian yang disuguhkan di atas panggung itu terjadi beneran.
Lik Mudhoiso cerita ke saya, katanya malam ini adalah saatnya diuji sama dek Diana. Apakah pelajaran yang disampaikan sudah dimengerti benar benar dan siap dipraktekkan di atas panggung.
Untuk mendukung akting Lik Mudhoiso, saya iseng iseng mencari di internet, cara membuat darah buatan supaya mirip benar dengan darah asli.
Yaitu campuran dari sirup jagung, air, sedikit tepung dan dan pewarna. Karena kemben buto Cakil tebal, maka kami tidak dapat menyimpan darah palsu itu di perut Cakil. Sebagai gantinya, saya menyimpan di bahu, dibawah selempang selendang buto Cakil. Makanya pas saya menusukkan keris luk 9 ke arah perut Cakil, Cakilnya kelihatan kakehan polah sehingga kerisnya menusuk leher. Padahal itu disengaja oleh Lik Mudhoiso supaya darah palsu yang di bahu tertusuk dan berceceran."

Terus kenapa tadi waktu saya periksa nadinya tidak ada denyut ?
Rikmo Sadhepo pun bingung dan menatap Mudhoiso.
"Itu karena saya rajin latihan yoga sejak muda dan sudah menguasai kundalini. Sehingga saya bisa menahan denyut nadi tangan kiri. Tapi tidak dapat menahan denyut nadi tangan kanan, maupun detak jantung. Karena suasana panggung remang remang dan semua sudah menganggap saya terbunuh, maka tidak ada yang memperhatikan saya tetap bernafas perlahan lahan. Makanya pas Inspektur memeriksa tangan kanan saya setelah lampu menyala tadi, denyut nadinya masih ada."   Suara Lik Mudhoiso perlahan.

Terus ngapain pak Lik pake muntah di atas panggung segala ?" berikutnya terdengar suara cempreng nan galak milik Inem si tukang sapu panggung. Semuapun menoleh ke arah Inem.

"Sori Nem, itu tidak sengaja. Efek dari menahan nadi adalah pusing dan mual."

Inspektur Suzana menyadari bahwa ternyata, pembunuhan atau tepatnya peristiwa yang dianggap pembunuhan itu tidak ada. Alias hoax.  Maka diapun membubarkan kerumunan orang orang di atas panggung.
"Wis wis wis, bubar bubar bubar. Sudah jelas semua permasalahannya. "

Plok plok plok, tepuk tangan yang cetar membahana tiba tiba terdengar dari pinggir panggung. Tepuk tangan itu berasal dari tangan mba Diana pelatih akting dan  Pak Sigit, wakil ketua rombongan Wayang Orang BlogCamp Budhoyo. Yang lain pun segera tersadar. Semua pun ikut bertepuk tangan, meriah dan tambah meriah. Keberhasilan Mudhoiso 'mengecoh' Inspektur Suzana berarti keberhasilan grup wayang orang untuk berpentas di atas panggung dengan akting meyakinkan. Meskipun mereka hanya grup pinggiran yang pindah dari satu tobong ke tobong lain, karena sangat mencintai budaya sendiri merekapun berusaha totalitas dalam berseni.

-Tamat-

Sumber bacaan
Cara menghentikan nadi
Cara membuat darah palsu