"Sudah sampai, Ma... " Dina membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Aku turun dari mobil, Dina mencari tempat parkir yang cocok.
Lapangan parkir sudah hampir penuh. Tampak di kejauhan, para tamu sudah hampir memenuhi tenda. Sebagian bergerombol mengobrol, tertawa, mungkin mengenang masa muda.
Aku datang ke reuni ini atas ajakan Dina, putri semata wayangku. Bukan, bukan diajak, tepatnya dipaksa. Karena ini reuni akbar. Alumni 1980-2010. Bayangkan. Lintas generasi. Bahkan Dina pun sudah lulus dari sekolah yang sama denganku.
"Ayo Ma, kita ke sana" Dina menggamit lenganku.
Aku menurut saja dituntun. Pikiranku setengah iya setengah tidak. Andai saja bukan karena Tina yang sengaja datang dari Amerika, dan Lia yang sengaja datang dari Balikpapan, mungkin aku tidak akan memaksakan diri ke sini. Ke pantai ini. Untuk reuni..
Entahlah, kenapa panitia memilih pantai Teluk Penyu ini untuk lokasi reuni. Sore hari pula. Mungkin karena sekolah kami dekat dengan pantai, dan lokasi ini menjadi lokasi favorit untuk jalan jalan sore.Menanti senja tenggelam di balik Nusakambangan.
Sesekali bahkan guru olah raga pun sengaja mengadakan lomba lari di sini. Maka aku yakin, hampir semua anak sekolahku punya kenangan di sini.
Dina mengajakku berjalan menyusuri pantai, melewati tenda dan panggung. Di balik panggung, berjejer bungalow sepanjang pantai. Tempatnya agak tersisih. Dulu semasa aku sering melewatkan waktu di sini, belum ada bangunan ini.
"Asyik ya Ma.. duduk di sini. Coba ada cafe di dekat sini, enak kali ya minum segelas es kelapa muda" kata Dina.
Aku tergagap. Es kelapa muda, kesukaanku dan kesukaannya. Dia. Entah di mana.
Mataku menatap laut selatan yang demikian luas. Jantungku berdegup tak karuan,hanya karena mengingatnya.
"Mama... jangan melamun saja. Diajak ngobrol kok malah melamun" Aku tersenyum dan menoleh.
"Iya.. enggak lagi deh... Mama seneng aja melihat laut" sahutku berdalih.
"Ok deh Mam, Mama nikmati aja lautnya dulu ya.. aku pesan es kelapa muda dulu" kata Dina.
"Hm "! jawabku sambil kembali menatap laut.
Sebentar kemudian, terdengar langkah mendekat dan dua gelas diletakkan di meja bungalow. Aih, cepat sekali Dina membeli es.
"Cepat amat Din ?" tanyaku, lagi lagi tanpa menoleh.
"Ini aku, Dini !" Hah ? Aku terkejut. Hanya seorang yang memanggilku Dini dari namaku Nurhandini. Semua teman temanku memanggil Nur. Kecuali dia, dia yang lenyap bagai di telan bumi.
"Dini, aku datang hendak minta maaf" katanya
"Minta maaf atas apa ?" tanyaku datar, mengatasi debar
"Din, aku minta maaf atas semua yang kulakukan kepadamu dan kepada Dina ." katanya lagi
"Kau tak perlu minta maaf padaku. Waktu itu aku melakukannya tanpa terpaksa. Dan kau tak perlu minta maaf pada Dina. Dia tidak mengenalmu." Ujarku, menegarkan diri.
"Dini... bukalah hatimu. Aku menyesali seluruh kesalahanku di masa lalu. Aku pergi saat itu, karena aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan. Aku membiarkanmu menanggung sendiri akibat perbuatan kita, aku membiarkanmu sendiri menyembunyikan kehamilanmu, aku membiarkanmu membesarkan dan mendidik Dina. Aku membiarkanmu ... Aku minta maaf untuk itu semua." Suara Naga semakin serak.
"Aku pergi, tapi dirimu selalu membayangi. Aku pergi, tapi aku hanya tahu satu tempat kembali. Engkau ! Dini... maafkan aku" Kini pria setengah baya itu tergugu di belakangku. Aku tak sanggup untuk memalingkan muka dan menatapnya. Terlalu dalam. Terlalu pedih. Terlalu cinta. Selalu cinta.
Dan aku tahu, tanpa dia minta pun aku sudah memberinya maaf sejak 30
tahun lalu di detik dia pergi dan tak dapat dihubungi. Itulah sebabnya
aku menjaga Dina. Membesarkan Dina, sepenuh cinta
"Aku sudah bertemu Dina. ketika sama sama mendaftar reuni. Melihatnya, seperti melihatmu 30 tahun lalu. Hanya bedanya, Dina berbalut jilbab rapi.Tapi aku dapat mengenali. Mata, hidung, senyum bahkan langkah kalian seperti tak ada beda. Kami berkenalan. Dan tahulah aku, bahwa dia adalah anak kita. "
"Dina anakku, dia tidak pernah mempunyai ayah " kataku tetap bertahan.
Terdengar laki laki itu menarik nafas dalam.
" Aku mengerti Din, dia tak mempunyai ayah. Bahkan dia tak perlu ayah. Tapi, maafkan aku Dini, ijinkan aku menebus kesalahanku, dan menghabiskan sisa umurku bersamamu." bujuknya lagi.Kini suaranya semakin tenang. Agaknya dia sudah semakin siap dengan apapun jawabanku.
"Dari cerita Dina, akupun tahu, bahwa kau tak pernah membuka pintu hatimu untuk orang lain. Kau menutup diri. Dini, ijinkan aku mengetuk hatimu sekali lagi.... Boleh ya Din ?"
Aku terdiam. Kepalaku tertunduk. Sekian waktu berlalu dalam diam. Hanya debur ombak yang semakin besar. Riuh rendah suara acara reuni seperti tak terdengar olehku. Sinar mentari semakin meredup. Sebentar lagi senja senja menjelang. Tenggelam di balik Nusakambangan.
"Bagaimana, Dini ?" kini laki laki itu disampingku. Menatap.
Aku memberanikan diri mengangkat wajah, dan melihatnya. Mata itu, mata Naga. Mata yang membuatku terpana.
Perlahan aku mengangguk. Dia tahu, bahwa aku mencintainya. Terlalu dalam. Terlalu cinta. Selalu cinta.
*759 kata. Panjang amat yaks