Hari mulai temaram. Sebentar lagi seisi bumi berselimut malam. Di sebuah bangku kayu panjang aku duduk. Sendiri. Hanya buku yang bisa memperpanjang nafas kesabaranku dari pagi hingga senja di sini. Ya, aku duduk sendiri, tapi sebenarnya aku tidak sendiri di stasiun ini.
Seorang lelaki tua sedari pagi sibuk mondar-mandir. Mula-mula menyapu peron, lalu ke ruang bekas tempat penjualan tiket bak melayani seseorang. Kemudian masuk ke ruang bekas PPKA yang pintunya sudah entah di mana, dan dia membuat coretan-coretan di sana. Lalu bergegas keluar lagi dan berdiri di ujung rel, lengkap dengan topi, peluit dan tongkat semboyan. Kadang tongkat dengan bulatan merah dia acungkan. Kadang tongkat dengan bulatan hijau dia acungkan, lalu disusul dengan tiupan peluit panjang. Sekali waktu Bapak bergegas ke ujung jauh stasiun, untuk merubah tuas wesel.
Beliau melakukan semua itu sambil menyesuaikan dengan jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta yang tertera di papan lusuh.
"Mas, ayo kita pulang" tiba-tiba suara Rano mengejutkanku. Entah kapan adikku tiba di tempat ini.
"Sebentar, Dik. Kita tunggu Bapak menyelesaikan 'tugas' beliau."
Adzan maghrib pun berkumandang. Bapak melepas topi dan peluit di pundaknya, kemudian menyimpannya di ruang bekas PPKA. Tanpa perubahan ekspresi, Bapak berjalan menjajari aku dan Rano.
Kami bertiga melangkah keluar dari sini, dari stasiun kereta yang sudah tidak beroperasi lagi.
*PPKA : petugas pengatur kereta api
Kalau enggak salah 208 kata.
Mohon maaf tidak dapat me-link banner. Agak kesulitan karena posting pake hape
Salut untuk petugas kereta api yang tidak pernah tersentuh oleh masyarakat kebanyakan. Tahunya menuntuk PJKA terus membenahi diri ^_^
BalasHapus^_^
HapusBerasa gimanaaa.... gitu, blog ini dikunjungu seleb macam bang aswi.
Iya betul Bang, kebetulan Titi punya sepupu di PJKA / PT KAI dan dulu di belakang kantor ada lintasan KA jadi punya kesan tersendiri soal perkeretaapian.