Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja

Sungai Musi & Jembatan Ampera, Palembang

Pernahkah kau mencinta dengan sangat ? Pernahkah kau merindu dengan sangat ? Jika jawabanmu iya, maka bersiaplah kau akan terluka dengan sangat. Kau akan terpuruk dengan sangat pula.

Cinta memang sesuatu yang membingungkan. Dia adalah sumber bahagia dan luka sekaligus, menurutku. Kalian boleh setuju boleh tidak. Karena idealnya cinta itu membahagiakan. Mengembangkan. Memberi kesempatan. Seperti cinta seorang Ibu yang memelihara anaknya sejak dalam kandungan hingga ia dewasa. Bahkan hingga anaknya mempunyai anak pula.

Tapi aku tak pernah menemui cinta yang seperti itu. Aku ragu. Apakah aku akan bertemu. Sejauh aku melangkah, tak ada sedikitpun tanda tanda.
Cinta telah membawaku melayang jauh. Melayang bukan dalam arti khayalan saja. Tetapi melayang yang sesungguhnya.

"Ikutlah Ning.. percayalah. Cinta kakak tidak akan tergoyahkan. Kakak akan yakinkan Ayah dan Ibu. Kalau beliau berdua melihatmu, pastilah mereka juga jatuh cinta padamu"

Cintalah yang membawaku terbang dari tanah Jawa ke bumi Sriwijaya ini. Meninggalkan bapak dan simbok di kampung. Bukannya mereka tak merestui hubunganku dengan Kak Amin. Tapi kemiskinanlah yang mengajari kami agar tak banyak berharap. Mengajari kami agar tak terlalu tinggi menggantung cita, bila jatuh akan sangat sakit rasanya.

Nyatanya, cinta telah membawaku pergi. Cinta telah membuatku berani. Cinta telah berlari dan memaksaku mengejarnya. Meski akhirnya cinta itu hanya meninggalkan luka. Menyisakan aku yang terlunta lunta di sini. Di sudut jembatan Ampera yang berdiri kokoh.

"Amin, Ayah  ndak setuju kamu kawin dengan perempuan Jawa itu !"

Air mataku meleleh. Suara itu terdengar keras dan pedas. Rasanya masih sangat menyakitkan. Meski sudah bertahun terlewatkan. Aku akan tetap di sini. Aku tak akan meninggalkan kota ini. Aku tak bisa beranjak dari sini.

"Ning, kakak akan membelamu di hadapan Ayah. Tekad kakak sudah bulat. Kita akan segera menikah setelah lebaran"

Aku tersenyum. Indah sekali kata katak kak Amin. Kala itu hari menjelang senja. Kami berjalan bersisian. Langit berwarna jingga. Berpadu dengan warna warni lampu led di sepanjang jembatan.

"Tidak Kak. Menurutlah kata Ayah dan Ibu. Kita tidak mungkin menikah tanpa restu. Bukankah cinta tak harus saling memiliki ?"
Aku menangis lagi.  Perih rasanya di hati.


"Kakak akan mencintaimu sampai mati. Tidak ada yang dapat memaksa kita berpisah. Meskipun itu Ayah. Hanya maut yang akan memisahkan kita, Ning"
Aku tersenyum lagi. Tanganku mengepal erat bagai mengenggam tangan kak Amin kala itu.

Kami berdua masih berdiri di sisi jembatan hingga larut malam. Tak bosan memandang riak air dan ketek yang sesekali melintas. Juga restoran apung yang terdapat di sisi sisi Musi. BKB tampak di kejauhan. Juga Gedong Ledeng yang kini menjadi kantor walikota. Indah. Semua indah. Bersama kak Amin semua indah.

Malam itu juga semua berubah. Motor yang kami tumpangi diseruduk truk dari belakang. Kak Amin berpulang membawa cintanya. Meninggalkanku sendiri di kota ini hanya tinggal sebelah kaki.

Ah... Bumi Sriwijaya. Ah, Palembang. Jembatan Ampera. Berulang setiap senja. Langit jingga jatuh di rambutku yang makin  kelabu. Bercampur antara hitam dan putih uban.
Aku tersenyum di sini. Aku menangis di sini. Di sisi jembatan Ampera. Entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti tak kulihat senja lagi.

Serombongan anak anak melintas di dekatku. Sebentar mereka mengawasi. Kemudian berlari menghindar.

"Ada wong gilo, ada wong gilo"


2 komentar: