Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Sabtu, 16 Juni 2012

Kerudung Merah

hotel tarabunga*

Perahu hotel menjemput kami dari daratan Balige.
Anak anak ramai berceloteh. Semua wajah terlihat cerah ceria.
Semua lulus dengan nilai memuaskan.
Meski aku yakin, ada satu dua atau tiga empat atau entah berapa mendapatkan dari contekan.
Aku tak mau tahu. Itu bukan urusanku dan bukan kewenanganku.

Beberapa duduk berpasangan. Kesempatan. Kapan lagi bisa bepergian seperti ini. Ini adalah malam perpisahan. Pantaslah bila tak ingin kehilangan, meski satu jenak pun kejadian.

Beberapa anak  perempuan duduk berhadapan. Di sudut lain para lelaki membuat gerombolan juga. Duduklah suka suka. Mumpung perahu ini hanya melayani kita.

Ada yang duduk sendiri menatap Toba. Menatap ikan pora pora yang berenang riang. Angin yang menghembus, membuat permukaan danau beriak. Airnya biru. Luas terhampar dipayungi langit yang biru juga. Bukit  Barisan dengan hutan pinusnya bak pagar keliling. Sempurna. Kuasa Tuhan menyatu di Toba. Sedetik aku tertegun, kagum. Terbersit syukur, tak harus pergi jauh untuk kudapatkan keindahan ini. Karena aku lahir di sini. Tumbuh besar di bumi ini.

Perahu merapat di dermaga hotel Tiara bunga. Semua mengemasi bawaannya masing masing lalu turun dari perahu. Tapi kami tidak akan menginap di hotel. Kami berjalan beriringan menyusuri jogging track menuju Villa Telukbunga. Di sanalah malam perpisahan kelasku akan diadakan.

"Wita, kamu melamun saja dari tadi"
Aku tersentak. Alex yang tiba tiba bertanya dan menjajari langkahku membuat lamunanku buyar.
"Ah enggak, biasa aja. Lagi males ngomong aja"
"Sini aku bawain tas kamu"
"Nggak usah, Alex. Aku bisa bawa sendiri kok. Terima kasih"
"Kamu udah baca suratku ?"
Aku mengangguk.
"Beri aku waktu untuk menjawabnya, Alex. Aku janji, besok pagi sebelum kita pulang ke Balige suratmu sudah aku jawab"
Alex menatapku tidak sabar.
Aku mengangkat pundak.
Akhirnya dia diam dan membuntutiku ke arah villa.

Vilanya sangat nyaman. Sirkulasi udara dan pencahayaan diatur sedemikian rupa, sehingga kami baru perlu menyalakan lampu setelah malam menjelang.
Tapi kami hanya menyalakan lampu luar.

Kami duduk melingkar di pantai yang berpasir. Satu persatu mengungkapkan  kesan dan pesan setelah tiga tahun bersama sama. Suka dan duka. Tangis dan tawa. Mereka yang punya cerita cinta pasti banyak kenangan. Orang bilang masa SMU adalah masa yang paling indah. Tapi tidak denganku. Hari hariku adalah belajar dan belajar. Berpindah dari sekolah ke perpustakaan. Semua membosankan sampai aku kelas tiga. Sebelum aku ketemu Kak Berlian. Dia cantik, baik dan tentu saja pintar. Dialah guru fisikaku di Nurul Fikri. Pertemuan kami tidak hanya di ruang bimbel. Kak Berlian lalu mengajakku ikut  Kajian Jumat di Masjid Hadhaanah dekat pasar Balige. Dan kamipun menjadi sahabat layaknya kakak adik.

Kak Berlian membuatku berubah dalam banyak hal. Membuka pikiranku yang selama ini tertutup dan hanya memikirkan diriku. Dialah yang menyadarkanku akan makna hidup. Dari mana aku berasal, untuk apa aku di dunia ini, dan akan kemana kelak setelah mati.
"Kak, kenapa kak Berlian pakai kerudung ? Kakak cantik, rambut kakak bagus dan panjang. Kulit kakak juga putih. Nggak ada yang bikin malu kan ?" tanyaku polos.
Saat itu kami tengah duduk duduk di pelataran TB Silalahi Center.
Kak Berlian mengeluarkan permen. Satu permen dia buka dan dia jatuhkan isinya ke tanah. Satu lagi tetap dia pegang. Kemudian diambilnya permen yang dijatuhkan. Sementara aku menanti jawaban.
"Wita, kalau kakak tawarkan satu dari dua permen ini padamu, kamu pilih yang mana ?"
"Pilih yang utuh, Kak. Kan yang satu sudah terbuka dan kotor"
"Begitulah Islam melindungi kaum muslimah dengan pakaian yang menutup aurat ini. Agar terjaga dari pandangan kotor laki laki nakal. Dan juga tidak menjadi fitnah bagi laki laki yang berusaha menjaga pandangannya"
Aku cuma melongo. Tapi batinku mengiyakan setuju.

"Dor ! kamu melamun lagi" Alex kembali mengagetkanku.
"Semua sudah masuk villa, kenapa kamu masih di sini, Wita ?" Alex duduk selonjoran di pasir pantai di sebelahku.
"Aku ingin memuaskan diri memandang Toba dan Samosir. Entah kapan aku bisa pulang lagi. Bandung - Balige tidak murah, Alex"
"Itulah, Wit. Karena aku nggak tahu kapan kamu pulang, makanya aku tak sabar menunggu jawabanmu"
"Alex, maafkan aku. Emm.. aku .. aku tak bisa menerima tawaranmu"
"Kenapa ? Apakah karena ada yang mendahuluiku ?"
"Tidak, bukan. Bukan karena siapapun."
"Kamu meragukanku ?"
"Tidak, Alex. Aku tidak pernah meragukan kesungguhanmu. Maafkan aku"
"Jadi kenapa ?"
"Karena aku belum siap untuk menjalin hubungan dan terikat dengan seseorang, aku nggak mau pacaran Alex. Aku punya cita-cita, dan aku akan mengejar cita-citaku terlebih dahulu. "
"Tanpa cinta ?"
"Tanpa cinta yang tidak direstui-Nya. Aku ingin kita tetap bersahabat saja. Seperti awalnya. Kau bisa jatuh cinta dan menikahi siapapun. Tak harus menungguku kembali. Iya kalau aku kembali." Aku tertawa getir, berharap suasana mencair.
"Baiklah Wita. Bila itu membahagiakanmu"
Aku mengangguk.
"Terima kasih Alex. Yuk kita kembali ke villa. Ntar di sangka temen temen kita ngapain lagi."

Alex menatapku sejenak di pintu. Aku pura pura tidak tahu dan langsung masuk kamarku.
Kucari cari tas punggungku diantara sekian tas milik teman teman yang sebagian sudah tidur. Kurogohkan tangan ke dalam. Aku ambil sebuah bingkisan yang telah lama aku terima.

Wita, bingkisan ini hanya boleh kamu buka setelah kamu lulus SMU
Sampai jumpa di ITB

Itu tulisan tangan kak Berlian. Sampai jumpa di ITB adalah semacam doa darinya. Dan pembangkit semangat. Kala itu aku sedang dalam proses bidik misi.
Kini aku sudah lulus. Kubuka bingkisan itu. Ternyata isinya adalah selembar kerudung merah.Aku akan memakainya besok dan seterusnya.

*foto diculik dari sini

2 komentar:

  1. Jadi inget kerudung merahku, kemana ya dia *ngalamun*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oriiiinnn... aku belum nengok lagi Si Bundo Rahmi. Baru ngintip yg pangandaranmu

      Hapus