Titi adalah

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
istri, ibu dari 5 anak, full time worker, menghibur diri dengan berkreasi dan berpuisi

Senin, 18 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo

Pasar Klewer, Solo

Untuk mendapatkan serabi solo kalian tidak harus ke Solo.
Karena sekarang sudah banyak yang menjual serabi solo ke luar kota Solo.
Tidak juga harus mendatangiku di depan pasar Klewer ini, di Kedai Serabi Solo "Putri Solo"
Tapi, akan berbeda kalau kau mendapatkannya di tempat asal. Serabi Solo yang dibeli di kota Solo.

Sudah hampir sepuluh tahun aku dan suamiku membuka kedai serabi solo.
Alhamdulillah selalu laris manis. Apalagi di musim liburan seperti sekarang.
Kutatap suamiku yang sedang mengaduk aduk arang agar bara apinya rata.
Setiap gerakan tangannya bagai mengaduk aduk perasaanku yang entahlah, aku tak tahu apa ini namanya.

"Kenapa menatap Aa seperti itu, Neng  ?" Pertanyaaan Aa mengagetkanku.
"Aa makin kasep kalau lagi kerja dan bersimbah peluh, jadi Neng makin suka ngeliatin Aa"
"Ah, Neng merayu. Pasti ada maunya nih..."
"Enggak lah A.... kan emang Neng sayang dan cinta sama Aa"
"Ish, sudah, nih, anterin serabi ke pembeli di meja 10 tuh. Ngeliatin kita dari tadi." Kata Aa sambil menyorongkan sepiring serabi pesanan.

Jangan heran aku memanggil di Aa. Memang Aa berasal dari Bandung. Aku yang asli Solo. Tapi jangan salah, dalam hal mengolah serabi, Aa lebih jago dari aku. Selain  karena dia kuliah di bidang kuliner dia  juga belajar langsung dari Bapak.

Aku duduk diam di sudut kedai. Kebetulan pembeli sudah mulai sepi.
Sehabis mencuci tangannya yang tercoreng arang dan terciprat abu di sana sini, Aa duduk di depanku.
Dia menarik kursi di seberang mejaku.  Dipegangnya tanganku.
"Neng masih memikirkan soal reuni Aa ?"
Aku menunduk sambil membetulkan letak kerudungku.
"Nanti siapa yang membantu Neng di kedai kita selama Aa di Bandung ?" tanyaku berdalih
"Kan ada de Joko yang sudah menyanggupi. Aa yakin bukan karena itu. Neng khawatir Aa bakal CLBK ?"
Aku makin menunduk. Selama ini aku selalu mengikuti saja keputusan Aa. Aku selalu menerima apa pun yang dia katakan atau apapun yang dia lakukan.
Tapi, untuk yang satu ini rasanya agak sedikit berat.
Aku tahu siapa dan bagaimana teman teman kuliah Aa di tempat itu.
Aku juga tahu pergaulan macam apa diantara mereka. Dan aku tak mau, masa lalu kembali menarik Aa.
Aku menarik nafas.  Kutatap mata Aa. Barangkali aku bisa melongok sedikit ke dalam hatinya. Apakah masih hanya diriku seorang dan tak ada lainnya.
"Yakinlah Neng, Aa akan menjaga diri selama di Bandung"
Hatiku memberontak. Menjaga diri bagaimana. Aku tahu Aa yang tidak pernah mau berkonflik. Sekecil apapun.
Misalnya saja,  dia masih susah untuk menjaga diri tidak salaman dengan perempuan. Alasannya? Alasan ringan, menurutku. Malah dia selalu membalikkan pernyataan, "kamu enak, pake kerudung. Bisa menolak salaman." Huh !
Justru itulah, karena Aa nggak pake kerudung, dan teman temannya pasti banyak yang belum tahu Aa sudah berubah, aku nggak rela rasanya nanti tangan Aa ditarik tarik ke panggung diajak berjoged. Dipeluk peluk dan cipika cipiki. Memangnya aku nggak tahu apa ! Pertemanan seperti apa yang dulu dijalani Aa, toh kami berasal dari kampus yang sama. Hanya beda angkatan dan jurusan.
"Bicaralah, Neng. Kalau Neng nggak ridho Aa ikut reuni, Aa nggak akan berangkat"
"Kata - kata Aa seakan akan menimpakan segala resiko reuni padaku." kataku dingin.
"Bukannya begitu... maksud Aa... " kata kata Aa menggantung di udara.

Bagaimanapun aku menenangkan hatiku, tetap saja aku tidak berhasil. Bagaimanapun aku berusaha berpikiran positif, selalu saja hal negatif yang muncul. Terlalu berat. Sangat berat rasanya melepas Aa.

"Terserah Aa aja lah.. Hanya satu permintaan Neng. Tolong deh Aa renungkan, seandainya kali ini angkatan Neng yang ngadain reuni, dan kemudian Neng ikut. Terus Neng diperlakukan teman teman laki laki Neng jaman kuliah dulu seperti yang teman teman perempuan Aa memperlakukan Aa dahulu, Aa bakal ridho nggak, Neng berangkat reuni. Kalau Aa ridho, Neng juga akan berusaha ridho"

Kataku sambil beranjak meninggalkan Aa di meja. Akhirnya kusampaikan juga segala yang mengganjal perasaanku. Berat sekali. Karena selama sepuluh tahun menikah, belum pernah sekalipun aku membantah Aa atau  tidak setuju dengan keputusan Aa.

Esoknya kutunggu de Joko datang dari rumah Bapak dan Ibu. Dia harus menjemputku untuk membawa bahan serabi ke kedai. Karena pagi ini Aa akan berangkat ke Bandung.
Aku duduk mematung di teras kontrakanku.

"Yuk kita berangkat Neng ..." Tiba tiba suamiku muncul dari dalam rumah.
"Aa nggak jadi ke Bandung ?"
"Setelah Aa pikir pikir, kayaknya Aa juga bakal nggak rela melepas Neng ke masa lalu.  Ketemu dengan teman teman laki laki Neng yang belum menjaga batas batas pergaulan. Lagipula Neng, Aa akan ketemu mereka paling cepat kan setahun sekali. Ngapain Aa memberati mereka, dan menjaga perasaan mereka agar tidak kecewa karena Aa nggak datang ? Toh akan banyak orang nantinya. Sedangkan di rumah ini, hanya ada Neng seorang. Nggak akan ada pengganti di hati Neng kalau Aa pergi.  Kita akan ketemu setiap hari. Kalau hari ini Aa melukai perasaan  Neng, Aa pasti malu ketemu Neng besok hari. Dan Aa nggak tahu bagaimana lagi Aa mengobati perasaan Neng."

Aku peluk suamiku erat erat. Ada yang menghangat di sudut - sudut mataku. Tidak, tidak akan kuhapus. Akan kubiarkan Aa tahu. 
"Itu keputusan Aa kan ? bukan keputusan Neng ya.." kataku merajuk
Aa mengangguk dan membalas pelukanku lebih erat.
Kehangatan menjalar di dadaku. Sehangat serabi solo dari kedai kami berdua.




2 komentar:

  1. owh ....so swiiiit

    oh ya mbak ini janji aq untuk mampir ke blognya mbak titi
    ternyata mbak titi orang solo klo suami org bdg ya...?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini fiksi Maaaakkkk.....
      Aku lahir Temanggung, besar di Cilacap, menikah dengan orang Lampung, sekarang tinggal di Bandung. Halah Lengkap kap kap

      Hapus