Ombak laut selatan silih berganti menerpa batu di bawah kakiku. Menderu didorong angin dan akhirnya pecah. Kutatap langit yang berujung di garis cakrawala. Pulau Nusakambangan nun jauh di sisi kiri. Samar samar tertutup entah kabut entah awan.
Inilah tempat favoritku. Diujung dataran yang menjorok ke laut. Di atas tebing batu. Di bawah pepohonan. Sempurna. Tak seorangpun lalu lalang di sekitarku. Tak kan seorang pun membuyarkan lamunanku.
Setiap aku rindu, pasti aku akan kembali ke sini.
"Rindu ? Rindu aku ? Mas ngaco. Kayak nggak pernah ketemu aja. Baru lima menit lalu aku mention Mas. !" tawaku lepas kala itu.
Kemudian aku berlari menerjang ombak. Engkau pun berlari mengejar. Dan kita tertawa.
"Mas tau nggak ? Aku tuh udah menganggap Mas seperti kakakku sendiri. Aku bisa tertawa lepas, bisa curhat dengan bebas dan nyaman, karena Mas selalu ngertiin aku. Kalaupun aku sayang Mas, itu bukanlah rasa sayang antara perempuan terhadap laki laki. Catat ya, bukan sayangnya seorang perempuan terhadap seorang laki laki. Tetapi, rasa sayang itu lebih mendekati sayangnya seorang adik terhadap kakak. Apalagi aku memang nggak punya kakak. Jadi please deh, jangan rusak pertemanan kita ini dengan kata kata cinta dan sejenisnya" Aku serius.
"Mas juga begitu, pada mulanya. Tapi setelah bertahun tahun kita lalui bersama, mulai dulu kita main layang layang di lapangan bola, kemudian sama sama ikut karate di polres, kemudian kita pisah kota karena aku kuliah di Yogya dan kamu di Bandung, aku mulai merasakan ada yang berbeda. Entah kenapa, setiap aku mencoba mendekati teman perempuan untuk jadi kekasih, selalu kubandingkan dengan dirimu, dek"
Aku mendengus.
"Eits, stop ! Jangan mendramatisir. Tak ada manusia yang sempurna. Dan tak ada perempuan yang mau dibanding-bandingkan. Semua pasti punya kelebihan. Kali aja Mas belum serius mendekatinya. Percayalah, Mas hanya butuh waktu lebih banyak bersamanya."
"Sayangnya, mungkin tidak demikian. Setiap perempuan yang sudah jalan dengan Mas, pasti mereka akan cemburu padamu. Walaupun belum satupun yang pernah bertemu kamu. Setelah mereka melihat, segitu banyak foto foto kita di kamar kosku. Segitu banyak komen komen kamu di wall facebook-ku. Dan segitu sering kita saling tweet dan mention, siapapun bakal mengambil kesimpulan ada suatu hubungan antara kita."
"Aaaah.. itu sih, karena Mas nggak sungguh sungguh meyakinkan dia. Coba deh. Suatu saat nanti, pasti Mas bakalan ketemu dengan seseorang yang bisa ngertiin Mas apa adanya" sahutku ringan.
Kami pun melanjutkan bercengkerama di pantai ini. Duduk berlama lama memandang pantai. Membiarkan kaki dan pakaian kami basah disapu ombak.
Tapi itu udah dulu sekali. Ah tidak, baru setahun eh dua tahun. Lama juga ya.. Seperti apa mas Bagas tampak aslinya ? Dan itulah pertemuan terakhirku dengan Mas Bagas. Kami masih saling mention dan saling komen. Tapi tidak pernah lagi bertemu. Mas Bagas seperti menghindariku. Apa seperti ini ya, yang namanya rindu.
Dan kini, selembar undangan ada di tanganku.
Undangan, 18 Juni 2012
Bagas Asmarandana
dengan
Ratih Kusumastuti
Akhirnya Mas Bagas menemukan orang yang dapat mengerti dia seutuhnya. Mestinya aku hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagasku menikah dengan orang yang dicintai dan mencintainya. Tetapi, kenapa setelah dua tahun tidak bertemu ? Kenapa dia tidak datang dulu padaku ? Mengenalkan mbak Ratih padaku ? Kenapa ada rasa asing dalam hatiku. Seperti rasa sakit, rasa kecewa atau apalah. Yang jelas aku tidak nyaman menghadapinya.
Ah, siapa kamu. Sehingga kamu punya ukuran mestinya mestinya dan kenapa kenapa tentang Mas Bagas. Sisi batinku yang lain mencoba menganulir cara berpikirku.
Tidak ternyata aku tidak cukup kuat untuk hadir di sana. Menyaksikan Mas Bagas dan mempelainya berbahagia di pelaminan. Maka aku memilih di sini. Di bibir pantai Pangandaran. Sendirian. Kutelungkupkan kepalaku ke atas lutut. Kubiarkan angin laut memainkan rambutku. Entah sampai berapa lama. Mungkin aku tertidur di sini.
"Dor !" Tiba tiba sebuah suara mengejutkanku. Hanya satu orang yang tahu tempat favoritku ini.
"Mas Bagas ? Bukannya....." Aku buru buru mengusap bekas air mata di pipiku.
"Hehehe... Maafkan Biru. Aku ngerjain kamu. Tidak ada pernikahan itu. Itu undangan main main yang kubuat sendiri. Sekarang aku bisnis percetakan. Aku hanya ingin menjajagi perasaanmu. Aku mau melihat apa reaksimu. Daaan......" kata Mas Bagas sambil membuka tangannya dan tersenyum jenaka.
"Mas Bagas jahaaaaaaaaaaaaaattt " aku berteriak dan lari ke pelukannya. Kupukul-pukul dadanya yang bidang.
Mas Bagas memelukku erat. Air mataku deras mengalir membasahi T-shirtnya.
"Biru, aku nggak akan memanggilmu "dek" lagi. Karena kamu bukan adikku" Mas Bagas berbisik di telingaku. Jarinya menjentik hidungku.
Aku masih menahan isak. Aku mengangguk dan makin menenggelamkan kepalaku ke dalam peluknya. Mas Bagas memang bukan kakakku. Dan aku telah jatuh hati padanya.
aq paling suka happy ending
BalasHapuskyk drama2 korea gituu....hihihi
Iya ini happy ending yah.. terima kasih udah mampir
HapusCeritanya baguuus... :)
BalasHapusMakasih Fia, makasih kunjungannya..
Hapus