"Aku akan pergi" kata Raka
"Kemana ? Kakak punya tujuan? Terus sekolah kakak gimana? " Selidik Rayi
"Kemana saja kaki membawaku. Gimana nanti saja. Masa Allah akan membiarkan hamba-Nya kelaparan" Raka menjawab ketus
"Bukan begitu kakak, sekarang ini hatimu sedang dipenuhi kemarahan"
"Ya, aku marah. Aku tersinggung dengan kata-kata Papa. Aku bukan anak kecil lagi yang terus menuruti kata-kata Papa. Aku juga punya pendapat, dan Papa tak pernah menanyakan itu"
"Maksud Papa itu baik, semua yang Papa lakukan demi kebaikan kita. Mengertilah, tugas Papa itu berat. Papa berusaha menjadi ayah sekaligus ibu sejak Mama meninggal lima tahun lalu"
"Ah, banyak orang yang ditinggal istrinya, tapi enggak galak seperti Papa. Kamu aja anak kesayangannya, jadi nggak pernah kena marah"
Rayi menghela nafas.
"Emosi telah menguasai hati dan pikiran kakak. Kakak tidak dapat berfikir jernih"
"Jaga bicaramu. Jangan sok tahu. Jangan juga sok ngatur seperti Papa. Aku tahu apa yang kulakukan"
"Kalau kakak tahu apa yang kakak lakukan, kenapa ngomong sama aku? Itu sama saja kakak mau minggat tapi pamitan" Rayi ikut tersinggung. Kemudian berlalu meninggalkan Raka sendirian.
Percakapan itu masih jelas terekam dalam benak Raka meski sudah berlalu dua lebaran.
Tepat setelah Rayi selesai berkata-kata, Raka pergi meninggalkan rumah. Tempat pertama yang dituju adalah rumah Om Yance, adik Papa. Sempat Papa membujuk agar Raka pulang. Tidak. Hatinya terlanjur patah arang.
Di rumah Om Yance, Raka tidak sanggup bertahan lama. Om Yance juga sama, suka mengatur seperti Papa.
Akhirnya Raka pergi meninggalkan rumah Om Yance.
Langkah kaki membawanya ke tempat ini. Sebuah cafe baru yang membutuhkan pegawai. Raka meninggalkan rumah tanpa membawa berkas-berkas apapun. Nomor hape pun berganti yang baru agar tak seorangpun dapat menemukan atau menghubunginya.
Di cafe ini, hanya posisi office boy saja yang bisa dilamar Raka. Dia terpaksa menuruti jam kerja dan peraturan manajer. Lagi-lagi dia diatur-atur, bahkan disuruh-suruh. Raka menekan egonya dalam-dalam. Lumayan, akhir bulan gajian, ada uang untuk membeli pulsa internetan dan sedikit pegangan. Terkadang rasa rindu membuatnya stalking akun facebook dan twitter adiknya. Rayi biasa saja. Tidak pernah sekalipun menyebut Raka sudah pergi meninggalkan rumah.
Hingga malam ini, sebuah pesan masuk di inbox akun facebook Raka.
"Kakak, pulang secepatnya. Papa kecelakaan dan koma. Setiap tersadar, yang di panggil selalu nama kak Raka. Pulanglah, Kak. Papa minta maaf kalau sudah terlalu keras mendidik kita."
NB: adoooh, cerita meuni geje gini x_x